Jumat, 26 Oktober 2012

Jawa Dilamun Candu – Opium To Java


SOSOK pria tua itu tergolek di atas bale-bale bambu. Badannya kurus kerontang, dimiringkan ke satu sisi. Ia melepaskan ikat kepalanya, rambutnya yang panjang tergerai di bantal dekil. Seorang wanita muda, dengan kerling mata menggoda, datang menghampirinya. Wanita pelayan ini menating sebuah kotak kecil berisi opium, alias candu.
Ia mengambil secuil benda mirip dodol itu dari kotak, dan mencampurnya dengan tembakau rajangan halus. Jari-jemari wanita muda itu kemudian memilin campuran tadi menjadi bola-bola kecil, kira-kira seukuran biji kacang. Bola-bola candu ini lalu dimasukkan ke dalam mangkuk pipa pengisap opium, lalu dibakar dengan nyala api lampu minyak.

Dengan sabar, wanita berparas manis itu melayani tamunya. Sang pecandu menyodot gumpalan asap opium dari ujung pipa, yang biasa disebut bedutan. Usai menghirup candu itu, lelaki tua tadi meninggalkan pondok tempat mengisap opium. Pondok berdinding bambu, beratap daun nyiur, ini berdiri di jantung kota Semarang awal abad ke-19, tak jauh dari alun-alun.
Pondok ini memiliki belasan bilik kecil, tempat mengisap opium, lengkap dengan peralatan sekaligus pelayannya. Setiap hari pengunjung datang ke sana silih berganti, semata-mata untuk membius diri. Semuanya sah belaka. Dan pondok opium semacam ini bertebaran di seluruh pelosok Jawa, sejak 1800-an hingga 100 tahun kemudian.
Bunga opium (poppy), yang dalam bahasa Latin disebut Papaver somniferum, memang tidak ditanam di Pulau Jawa. Meski begitu, orang Jawa ditengarai sudah menggunakan opium jauh sebelum kedatangan Belanda. Setelah orang Belanda mendarat di Pulau Jawa, pada akhir adad ke-17, mereka bersaing keras dengan pedagang Inggris untuk merebut pasar opium di Jawa.
Pada 1677, Kompeni Hindia Timur Belanda (VOC) memenangkan persaingan ini. Kompeni berhasil memaksa Raja Mataram, Amangkurat II, menandatangani sebuah perjanjian yang menentukan. Isi perjanjian itu adalah: Raja Mataram memberikan hak monopoli kepada Kompeni untuk memperdagangkan opium di wilayah kerajaannya.
Para Prajurit Perang Jawa
SETAHUN kemudian, Kerajaan Cirebon juga menyepakati perjanjian serupa. Inilah tonggak awal monopoli opium Belanda di Pulau Jawa. Hanya dalam tempo dua tahun, lalu lintas perdagangan opium meningkat dua kali lipat. Rata-rata setiap tahun, 56 ton (!) opium mentah masuk ke Jawa secara resmi. Tetapi, opium yang masuk sebagai barang selundupan bisa dua kali lipat dari jumlah impor resmi itu.
Pada awal 1800, peredaran opium sudah menjamur di seluruh pesisir utara Jawa, dari Batavia hingga ke Tuban, Gresik, Surabaya di Jawa Timur, bahkan Pulau Madura. Di pedalaman Jawa, opium menyusup sampai ke desa-desa di seantero wilayah Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Di Yogyakarta saja terdapat 372 tempat penjualan opium.
Di kalangan kaum bangsawan, opium bahkan memberikan corak tertentu pada gaya hidup yang sedang berkembang. Opium dipandang sebagai peranti keramah-tamahan dalam kehidupan bermasyarakat. Di pesta-pesta kalangan atas, jamak belaka jika para tetamu pria disuguhi opium. Bahkan, menurut sebuah laporan, para prajurit Pangeran Diponegoro, selama Perang Jawa berlangsung, banyak yang jatuh sakit ketika pasokan opium terganggu.
Permukiman Cina, yang semula hanya terpusat di sepanjang pesisir utara, pada pertengahan abad ke-19 mulai menyebar ke kota-kota pedalaman Jawa. Bahkan, justru kawasan pedalaman inilah yang kemudian berkembang menjadi lahan subur bagi para bandar opium. Pasar opium paling ramai terletak di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bandar opium Surakarta, misalnya, bersama wilayah Keresidenan Kediri dan Madiun, Jawa Timur, selalu menghasilkan pajak opium tertinggi bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Sejak awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20, kawasan itu juga mencatat rekor jumlah pengguna opium, dibandingkan dengan wilayah mana pun di Pulau Jawa.
Peringkat kedua diduduki oleh penduduk yang bermukim di wilayah pesisir: Semarang, Rembang, hingga Surabaya. Tapi, di peringkat yang sama juga tercatat kawasan pedalaman Yogyakarta, dan wilayah Keresidenan Kedu. Kemudian disusul wilayah Batavia, hingga pantai utara bagian timur, Rembang, Tuban, Besuki, Pasuruan, Probolinggo, Madura, juga pedalaman Ponorogo.
Larangan Paku Buwono II
PADA masa itu, mengisap opium seperti menjadi ciri umum kehidupan kota dan desa. Opium dipasarkan bahkan sampai ke tengah masyarakat desa yang tergolong miskin. Pesta panen, misalnya, seringkali dibarengi dengan pesta candu. Bahkan dalam hajatan pernikahan, tak jarang tuan rumah menyediakan candu untuk para tetamu yang dikenal sudah biasa menghirup madat. Para pemimpin desa pun dijamu dengan cara ini.
Opium masuk ke dalam kehidupan masyarakat Jawa tanpa memandang pangkat dan derajat. Candu dijajakan dari rumah ke rumah. Hampir di setiap desa ada pondok tempat mengisap opium. Orang Jawa membeli opium dengan duit yang didapat dari memeras keringat sebagai petani, pedagang, buruh, dan kuli perkebunan. Padahal, penghasilan seorang buruh pada 1885 rata-rata hanya 20 sen per hari.
Sementara itu, belanja opium rata-rata orang Jawa pada masa itu mencapai 5 sen per hari. Artinya, sekitar seperempat pendapatan dijajankan untuk opium. Diperkirakan, satu dari 20 lelaki Jawa mengisap opium hanya sebagai kenikmatan sesaat, tak sampai terjerat menjadi pecandu. Ibarat kata, kedudukan opium pada masa itu mirip dengan posisi rokok pada masa kini.
Tapi, ada juga manusia Jawa yang membelanjakan hingga 20 sen per hari hanya untuk opium. Karena itu, tidaklah mengherankan bila banyak orang Jawa yang jatuh papa lantaran opium. Mulai insaf akan ancaman obat bius ini, pada abad ke-18, Raja Surakarta, Paku Buwono II, bertekad melarang semua keturunannya mengisap opium.
Larangan itu, rupanya, ibarat gaung jatuh ke lembah. Terdengar selintas angin, lalu lenyap ditelan kegelapan. Sebab, pada masa pemerintahan Paku Buwono IV, 1788-1820, Raja Surakarta ini menerbitkan buku Wulang Reh, yang berisi ajaran tentang perilaku. Dalam buku yang berisi tembang, dan sangat populer di kalangan orang Jawa, itu sang raja mengingatkan rakyatnya jangan sampai terjerat candu.
Di kalangan masyarakat Cina pada masa itu, mengisap opium malah bisa dikatakan sudah menjadi semacam ”kebudayaan”. Baik untuk kalangan yang tinggal di kota besar, maupun di kota kecil dan pedesaan. Para hartawan Cina menikmati opium di rumah mereka, atau di klub-klub opium yang bersifat eksklusif. Sedangkan Cina miskin mengisap opium di pondok-pondok opium umum, bersama penduduk setempat.
Priangan dan Banten Tak Tergoda
HANYA sedikit Cina kaya yang terbebas dari opium pada masa itu. Adalah sebuah kehormatan besar bagi tamu-tamu di rumah tangga Cina, bila mereka disuguhi candu. Dibandingkan dengan orang Jawa, secara individu orang Cina memang lebih banyak mengonsumsi opium. Tetapi, di lapisan pecandu berat opium, orang Jawa tetap menduduki peringkat paling atas.
Di masa-masa awal, orang Sunda ternyata tak mempan oleh godaan opium. Masyarakat tanah Pasundan bahkan menyatakan kebenciannya terhadap opium dengan membuat larangan resmi. Sepanjang abad ke-19, kawasan ini dinyatakan bebas opium. Pemerintah kolonial Belanda melarang bandar opium Cina masuk beroperasi di wilayah Keresidenan Priangan dan Banten.
Barulah pada awal abad ke-20, opium resmi masuk Priangan dan Banten, setelah pemerintah kolonial Belanda mencabut hak monopoli peredaran dari para pedagang Cina. Sebagai gantinya, sejak saat itu Belanda mengizinkan agen opium pemerintah beroperasi secara resmi di kedua wilayah keresidenan itu. Jawa Barat pun, akhirnya, tak bisa lepas dari rayuan opium.
Belanda mulai mendirikan bandar-bandar opium resmi di pedalaman Jawa pada 1830. Kompeni mengimpor opium mentah yang dilelang dari pasar opium di Calcutta, India, dan Singapura. Pengolahan bahan mentah itu diserahkan kepada para pedagang, yang sekaligus bertindak sebagai distributor opium di tanah Jawa.
Pemerintah kolonial menunjuk para pedagang Cina untuk mengawasi peredaran opium di dearah tertentu. Penunjukan ini dilakukan lewat lelang, yang berlangsung di pendapa kediaman resmi para bupati setempat. Ketika lelang berlangsung, berkumpullah para bupati, pejabat kolonial, dan para pedagang Cina.
Mereka mengenakan pakaian kebesaran, lengkap dengan lambang kekuasaan dan pengawalnya. Banyak yang dipertaruhkan di meja lelang. Bagi residen Belanda, penawaran tertinggi berarti sumbangan melimpah akan masuk ke pundi-pundi pemerintah. Hal ini ditafsirkan sebagai sebuah keberhasilan pemerintah. Sebab, pajak opium dijadikan alat ukur bagi kemakmuran wilayah.
Lelang Perang Antar Raja
MAKIN banyak duit dikutip dari pajak opium di daerah itu, berarti makin makmur pula warga setempat. Pedagang Cina yang memberikan penawaran tertinggi akan menguasai bandar pajak pemerintah di daerah setempat. Dan yang paling menguntungkan, mereka akan mendapatkan patronase serta kewibawaan di wilayahnya.
Para pejabat Jawa pun bersaing ketat memperebutkan bandar Cina yang bonafide. Sehingga, di kalangan orang Cina sendiri, lelang opium itu disebut ”peperangan antarraja”. Contohnya, dalam lelang di Kediri, residen setempat menyarankan agar pemerintah mendukung Tan Kok Tong, yang memonopoli kebandaran lokal selama bertahun-tahun.
Tetapi, Direktur Keuangan Hindia Belanda merekomendasikan Tio Siong No, bandar pendatang baru asal Solo, yang telah memenangkan lelang di daerahnya. Tawaran dalam lelang diajukan dengan cara menyebutkan jumlah pajak, yang dalam bahasa Belanda disebut pachtshat, yang akan dibayar bandar dalam jangka waktu setahun.
Jumlah angka pajang yang disebutkan di dalam lelang memang bisa sangat fantastis. Sebutlah, misalnya, pajak bandar opium di Semarang pada 1881 yang mencapai 26 juta gulden. Dari pajak yang dikutip dari para bandar opium ini saja, pemerintah kolonial Belanda sudah mampu membayar gaji seluruh pegawainya di Hindia Belanda.
Pemenang lelang berhak atas monopoli peredaran candu di wilayah yang dimenangkannya. Bandar opium mendapat izin mendirikan pabrik pengolahan candu, yang bahan bakunya harus dibeli dari pemerintah kolonial. Untuk jalur distribusi, para bandar membentuk jaringan di wilayahnya masing-masing. Mereka pun menunjuk agen-agen opium di setiap kota, yang bertindak selaku distributornya.
Pondok-pondok tempat mengisap opium juga dimonopoli bandar. Toko-toko opium hanya boleh menjual opium yang diproduksi bandar setempat. Tapi, dalam prakteknya, banyak toko opium yang menjual barang selundupan. Di seluruh Jawa, pada 1850 terdapat sekitar 3.000 toko opium gelap. Bahkan, pondok opium gelap pun bertebaran di desa-desa.
Oei Tiong Ham, Bandar Terakhir
UNTUK memberantas opium selundupan di wilayahnya, para bandar opium menebar mata-mata, bekerja sama dengan polisi Belanda. Pengedar opium gelap yang tertangkap diseret ke pangadilan Belanda. Tapi, sejauh itu, polisi Belanda hanya dapat menangkap pengedar kelas teri. Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa peredaran opium gelap itu merupakan ulah seorang bandar untuk menghancurkan bisnis bandar pesaingnya.
Tio Siong Mo, bandar asal Solo, mengeluh karena wilayahnya dibanjiri opium gelap asal Semarang, yang diproduksi Be Biauw Tjoan. Banjir opium gelap itu mengakibatkan Tio bangkrut, dan terancam dicabut kontraknya pada 1854. Ia minta keringanan pajak dari Gubernur Jenderal Belanda. Tetapi, keluh kesah Tio itu dianggap sepi.
Ia justru dipenjarakan, lantaran tak sanggup membayar kewajiban pajaknya. Sebaliknya, di Negeri Belanda sendiri, parlemen Belanda menuduh pemerintah kolonial menganakemaskan Be Biauw Tjoan. Sepuluh tahun kemudian, pemerintah kolonial Belanda baru berhasil mengungkap peran kunci Be Biauw Tjoan dalam lingkaran penyelundupan candu.
Pangkat Be Biauw Tjoan sebagai mayoor de Chinesen dicopot. Para bandar opium pada masa itu umumnya memang merangkap ”opsir” Cina. Pangkat ini tidak ada hubungannya dengan dunia kemiliteran, meskipun pangkat itu mulai dari ”luitenant” (letnan), ”kapitein” (kapten), sampai ”mayoor” (mayor). Para ”opsir” ini hanya ditugasi memimpin komunitas Cina di kota tertentu.
Meski begitu, Be Biauw Tjoan tidak keluar dari bisnis candu. Bandar opium yang kaya raya ini terus mendominasi bisnis opium di Jawa Tengah. Ia sangat agresif di meja lelang, dan menyerang bandar-bandar opium saingan lewat ”opium ilegal”. Be dilaporkan bandar opium Banyumas mengedarkan opium di kawasan ini pada 1867. Tapi, ia sudah telanjur tak terjamah. Pada tahun itu, ia justru diangkat kembali sebagai mayor, hingga meninggal pada 1904.
Di setiap kota di Jawa ada keluarga opsir Cina kaya yang secara turun-temurun mencari nafkah dari bisnis candu. Bandar opium terakhir yang terbesar adalah Oei Tiong Ham. Ayahnya, Oei Tjie Sien, tiba di Semarang pada 1858. Lima tahun kemudian, Oei Tjie Sien mendirikan kongsi dagang Kian Gwan, yang bergerak di bidang perdagangan gula. Pada 1886, Oie Tiong Ham, yang baru berumur 20 tahun, diangkat sebagai ”letnan” Cina.
Keluarga Oei masuk ke bisnis candu pada 1880, ketika sebagian besar bandar opium bangkrut. Oie membeli lima kebandaran opium yang menguasai Semarang, Solo, Yogyakarta, Rembang, dan Surabaya. Dari bisnis opium ini, Oei Tiong Ham berhasil mengeruk keuntungan sekitar 18 juta gulden. Tetapi, bandar opium hanyalah sebagian dari kerajaan bisnis Oei yang terus berkembang.
Pada 1893, Oie Tiong Ham menggabungkan kongsi Kian Gwan, membentuk Handel Maatschappij Kian Gwan, yang bergerak di bidang perdagangan gula, pelayaran, dan perbankan. Oei menguasai perdagangan gula di Jawa, memiliki lima pabrik gula di Jawa Timur. Ia mendominasi kebandaran opium Jawa Tengah dan Jawa Timur, hingga kebandaran opium yang dipegang orang-orang Cina dibubarkan pemerintah kolonial, pada 1902. Heddy Lugito [Gatra Nomor 13 Tahun ke 7, beredar 12 Februari 2001]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar