MASYUMI lahir pada 7 Agustus 1945, ketika Jepang mulai sibuk bertahan
dalam Perang Pasifik. Dalam bukunya Bulan Sabit dan Matahari Terbit,
Harry J. Benda melihat: Jepang merestui pendirian organisasi Islam itu
dengan harapan kekuatan Islam membantu dalam perang. Padahal para
pendiri Masyumi-Kiai Haji Wachid Hasyim, Mohammad Natsir, Kartosoewirjo,
dan lainnya-menghendaki organisasi ini dapat menghadirkan semangat
Islam dalam perang kemerdekaan.
Waktu itu Kartosoewirjo bukan pendatang baru. Sebelum terpilih
sebagai Komisaris Jawa Barat merangkap Sekretaris I Masyumi, ia sudah
aktif dalam Majelis Islam ‘Alaa Indonesia (MIAI), salah satu organisasi
cikal bakal Masyumi. Bersama kawan-kawannya, atas izin Aseha-residen
Jepang di Bandung-ia mendirikan cabang MIAI di lima kabupaten di
Priangan.
Kartosoewirjo cukup dekat dengan Jepang. Dalam Soeara MIAI, ia menulis
betapa ajaran Islam akan berkembang bila umatnya ikut membangun dunia
baru bersama “keluarga Asia Timur Raya.”
Beberapa tahun setelah Proklamasi, dalam Pedoman Dharma Bhakti ia
menjelaskan strategi kerja sama ini terbukti efektif. “Masyumi dan MIAI,
keduanya buatan Jepang, dengan perantaraan agen para kiai ala Tokyo,
sebenarnya kamp konsentrasi. Namun akhirnya menjadi pendorong dan daya
kekuatan yang hebat (dalam pergerakan Indonesia),” tulisnya.
Atas usul Kartosoewirjo pula, Wachid Hasyim, Natsir, dan anggota
lainnya, pada 7 November 1945 di Yogyakarta, menyatakan Masyumi sebagai
partai politik. Kartosoewirjo tetap menjabat sekretaris pertama.
Programnya menciptakan negara hukum berdasarkan ajaran agama Islam.
Kartosoewirjo juga diberi tugas mendirikan pusat Masyumi di daerah
Priangan.
Tujuh bulan setelah itu, pada Juni 1946, Masyumi daerah Priangan
mengadakan konferensi pemilihan pengurus baru di Garut. Kartosoewirjo
menunjuk Kiai Haji Mochtar sebagai ketua umum dan ia sendiri sebagai
wakilnya. Nama tokoh politik Islam setempat, seperti Isa Anshari, Sanusi
Partawidjaja, KH Toha, dan Kamran, masuk kepengurusan. Dalam pidatonya,
Kartosoewirjo meminta pengikutnya memahami ajaran Islam yang hanif,
menjaga persatuan, dan menghentikan konflik karena perbedaan ideologi.
“Karena konflik sesama bangsa Indonesia hanya akan menguntungkan
Belanda,” katanya. Ia mematangkan partai yang diharapkan menjadi wahana
organisasi bagi semua kelompok Islam, sambil mempersiapkan tentaranya
sendiri, laskar Hizbullah dan Sabilillah di Priangan.
Semua menyaksikan Kartosoewirjo merupakan sosok berpengaruh dan keras
hati. Sikap kerasnya pada persetujuan Renville mendorong Perdana
Menteri Amir Sjarifuddin meminta Kartosoewirjo menjabat Menteri
Pertahanan. Tapi dia menolak, karena masih merasa terikat dengan Masyumi
dan tak menyukai arah politik Amir yang condong ke kiri.
Sebelumnya, dalam sidang Komite Nasional Indonesia Pusat di Malang,
Jawa Timur, Februari-Maret 1947, Kartosoewirjo yang mewakili Masyumi
menegaskan menolak persetujuan Linggarjati. Sebab, kesepakatan itu
menguntungkan Belanda, yang nyata-nyata ingin kembali menjajah
Indonesia. Penolakan itu menimbulkan konflik, Kartosoewirjo diancam
gerilyawan sayap kiri, Pesindo. Bung Tomo meminta Kartosoewirjo mencegah
pasukan Hizbullah menembaki kelompok Pesindo.
Melihat persetujuan Linggarjati dilanjutkan dengan agresi militer
Belanda, Kartosoewirjo memfokuskan perjuangan bersenjatanya dengan basis
Islam. Dalam pertemuan di Cisayong, ia dan kawan-kawan membekukan
Masyumi dan semua cabangnya di Jawa Barat. Kartosoewirjo membentuk
Majelis Umat Islam. Masyumi tidak mendukung, walaupun tidak ikut
menghantam.
Ketika Masyumi memegang pemerintahan, Natsir mengirimkan surat yang
mengajaknya turun gunung, kembali berjuang dalam batas-batas hukum
negara yang ada. Namun Kartosoewirjo membalas surat Natsir dengan pahit,
“Barangkali saudara belum menerima proklamasi (Darul Islam) kami.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar