Setelah William Thomas memperkenalkan istilah ”folk-lore” yang
dimaknai sebagai pengakuan adanya sistem budaya dan pengetahuan
masyarakat tradisional, 1846, Eropa Barat mulai bergerak melakukan studi
tentang potensi seni yang dikategorikan ”tradisional” itu. Di Inggris,
1878, didirikan ”Folk-lore society” yang bekerja menerbitkan folklor
lokal maupun yang berasal dari luar kebudayaan mereka. Negeri-negeri
pemakai bahasa Jerman pun giat melakukan studi akademis: mengumpulkan,
merekam, menulis dan mengklasifikasikan cerita- cerita rakyat,
pakaian-pakaian tradisional yang khas, musik, tari, seni visual
(gambar/lukis), serta aneka kerajinan masyarakat tradisional di pedesaan
yang mereka sebut ”tak berpendidikan” dan ”tak tersentuh kehidupan
modern”: sebutan yang terbias oleh definisi tradisi pada masa itu.
Memang, seabad sebelumnya, ”tradisi” pernah didefinisikan ”biadab”
(uncivili-zed), ”pra-modern”, dan ”lisan”. Pandangan ini diterbitkan
dalam ensiklopedia berbahasa Jerman dengan editor Johann Heinrich
Zedler, 1745, dan dalam kamus yang ditulis oleh Brothers Grimm pada
pertengahan abad ke-19. Tradisi kemudian menjadi kontra modernitas yang
menyebut dirinya ”ex-negativo”: ”tidak tradisional, berpendidikan, tidak
biadab” (Domman, 2008:4-5). Cara pandang ”mem-biadab-kan” pelaku
tradisi inilah yang dipakai kolonialisme untuk merendahkan kebudayaan
tradisional di wilayah jajahan mereka. Anehnya, negara-negara baru yang
secara fisik merdeka setelah Perang Dunia II justru mengadopsi
mentalitas kolonialisme ini. Hal ini terutama tecermin dalam
kebijakan-kebijakan pemerintah di negara-negara baru dan menjadi warisan
sejarah abad ke-20 itu.
Pergeseran
Yang menarik, dalam sejarah gerakan sosial nasionalisme di seluruh
dunia, tradisi justru berperan penting. Sejarawan Eric Hobsbawm
menyebutnya ”invention of tradition” untuk mendeskripsikan proses
nation-building abad ke-19 itu (Hobbawm, 2000). Referensi pada folklor
tradisional yang sebelumnya disebut ”biadab” itu menjadi penting untuk
membangun identitas negara-bangsa (nation-state) yang baru itu.
Pakaian-pakaian yang unik dan khas, seni visual, musik, arsitektur, yang
berakar dari tradisi menjadi simbol dan legitimasi persatuan sekaligus
menjadi ”nation-branding” negara- negara baru itu.
Proses semacam itu juga tecermin di Indonesia. Dukungan masyarakat
adat yang tercatat dalam dokumen Sumpah Pemuda; Jong Java, Jong Ambon,
Jong Batak, Kaum Betawi, adalah fakta sejarah dalam proses
nation-building negeri ini. Keberagaman budaya dari berbagai etnis dan
bangsa pendatang yang bersatu itu dikukuhkan sebagai simbol kebangsaan
Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Inilah sejatinya
identitas Indonesia, pluralisme. Identitas yang seharusnya menjadi
”nation-branding” negeri ini. Tetapi, apakah kebinekaan budaya yang
bermuatan konsep, nilai-nilai tradisi ini diminati, menjadi inspirasi,
dan dimanfaatkan sebagai sumber keunggulan kreativitas untuk pencitraan
negeri ini? Pertanyaan ini tentu terkait dengan strategi kebudayaan yang
diterapkan di Indonesia: apakah kebijakan-kebijakan yang ada memberi
ruang-ruang kebebasan untuk itu?
Simplifikasi
Ahli sejarah Robert Conquest, seperti dikutip antropolog Michael F
Brown, menyindir: ”zaman ini penuh dengan sampah dari puing-puing
kegagalan utopia yang menyebabkan banyaknya penderitaan.” Alternatif
kebijakan negara-negara baru umumnya didasari apa yang disebutnya
”realisme imajinatif”, yaitu kesediaan untuk menerima bulat-bulat
kebijakan rancu atas nama keseimbangan antara ”individual dan
komunitas”, antara ”kepentingan dan kesempatan”, dan antara ”pengetahuan
dan angan-angan” (Brown, 2003-8). Kritikus sastra Lionel Trilling
berpendapat adanya tendensi progresivitas kebijakan sosial yang
disimplifikasikan dan dibirokratisasikan. Kebijakan ini terpicu oleh
keinginan untuk mengentaskan totalitas permasalahan yang sangat kompleks
itu. Padahal, menurut Trilling, ”kesadaran terhadap kompleksitas dan
kesulitan” adalah sangat penting. Kompleksitas justru memberi peluang
untuk menyalurkan komitmen masyarakat sipil terhadap kompleksitas
permasalahan yang ada dan, dalam sistem demokrasi, digerakkan melalui
distribusi kekuasaan dan dinamika keberagaman internal.
Kebijakan yang tidak memihak kepada kompleksitas kultural yang
memberi energi kreatif dalam dunia seni justru akan menghilangkan
kemungkinan- kemungkinan yang bisa sangat bermanfaat bagi masa depan
kebudayaan bersangkutan, atau bahkan lebih radikal: membunuhnya. Salah
satu produk kebijakan yang disederhanakan atau dibirokratisasikan dalam
kreativitas seni adalah dekontekstualisasi kegiatan seni dari akar
kultural yang membuatnya ada. Contoh dalam seni pertunjukan adalah
penyelenggaraan festival kesenian dalam bentuk lomba yang dilakukan
secara nasional dan diikuti seluruh provinsi di Indonesia. Kegiatan ini
adalah manifestasi keinginan untuk mewujudkan angan-angan akan adanya
entitas ”kebudayaan Indonesia” yang tak nyata dan di luar eksistensi
dasar dari kebinekaan kultural itu.
Perbedaan konsep dan nilai- nilai estetika dari kebudayaan-
kebudayaan yang berbeda, oleh sifat-sifat alaminya, tidak mungkin
diperlombakan melalui pendekatan penilaian yang seragam, apalagi untuk
tujuan hierarkis dengan cara menetapkan siapa yang lebih bagus dari
lainnya. Pendekatan ini, selain menimbulkan sakit hati dan kepongahan
karena ekspresi kebudayaan yang demikian dianggungkan pemangkunya
dikalahkan atau dimenangkan, juga mengakibatkan tercerabutnya konteks
konseptual yang melatari proses kreatif baik dalam ranah gagasan maupun
dalam implementasi kontekstual, yaitu kehadiran seni dalam
kegiatan-kegiatan sosiokultural. Padahal, setiap kegiatan seni yang
terdapat di tengah- tengah masyarakat adat/tradisional, misalnya, akan
selalu berhubungan dengan berbagai alasan kontekstual yang justru
menjadi elemen paling penting bagi ketahanan hidup tradisi itu. Ketika
elemen-elemen tersebut didekontekstualisasikan, atau dihilangkan konteks
kegiatannya, maka kegiatan itu tidak lagi bermakna, dan kehilangan
kekuatannya.
Kasus kebijakan lain yang juga mengundang kritik adalah penghilangan
nama pemilik kebudayaan bersangkutan. Atribusi dan hak-hak moral
terhadap karya kolektif yang seharusnya melekat pada suatu kebudayaan
digantikan dengan nama provinsi. Tradisi Batak Toba, misalnya, diganti
dengan ”budaya Sumatera Utara”, tradisi orang Dayak Iban ditukar dengan
”budaya Kalimantan Barat”, dan seterusnya. Dalam buku-buku pendidikan
dasar, pemuatan gambar-gambar arsitektur rumah adat, pakaian adat,
tenun, dan aksesori adat sering kali tidak menyebutkan identitas
masyarakat adat yang menjadi sumbernya, kecuali nama provinsi.
Pendekatan penyederhanaan dan homogenisasi sosiokultural di
tengah-tengah fakta kebinekaan yang sangat kompleks ini berdampak kepada
hilangnya karya-karya dan pengetahuan tradisional, dan bahkan para
pemangku kebudayaan-kebudayaan yang nyata-nyata masih eksis pun secara
administratif ”terhilangkan”, atau mungkin juga ”dihilangkan”.
Kontribusi
Adalah kenyataan sejarah bahwa tradisi memberi kontribusi yang besar
terhadap nasionalisme dan kemerdekaan di berbagai negara-bangsa di
dunia. Tetapi, kemerdekaan secara fisik, dokolonialisasi fisik, tidak
disertai dengan kemerdekaan mental. Sebaliknya, mewarisi mentalitas
kolonialisme yang terbukti lebih membawa kemudaratan daripada
kemanfaatan. Dalam konteks pluralisme kebudayaan Indonesia, warisan
kebijakan abad ke-20 seperti contoh di atas seharusnya dihentikan karena
selain sangat merugikan, juga tidak relevan dengan tuntutan zaman.
Adalah kenyataan bahwa paradigma dalam melihat kebudayaan, ilmu
pengetahuan, ekonomi, dan teknologi sekarang ini telah mengalami
perubahan radikal, terutama dengan munculnya fenomena ekonomi yang
digerakkan oleh sumber daya kreatif lintas sektoral dan multidisiplin,
yang merajut kreativitas kultural, kreativitas keilmuan, kreativitas
ekonomi melalui teknologi yang memberi ruang sangat lebar (UNCTAD,
2008). Oleh sebab itu, jangan heran kalau di abad ke-21 ini semua bangsa
membutuhkan sumber-sumber inspirasi yang mampu memperkaya imajinasi dan
kreativitas untuk bisa melahirkan karya- karya yang unik untuk
ditawarkan dan sharing pada dunia. Indonesia memiliki jawaban untuk itu:
kebinekaan kultural dan nilai-nilai lokal yang selama ini tersuruk di
balik kebijakan yang tak memberinya ruang. Oleh sebab itu, citra bangsa
yang didasari oleh kebinekaan budaya itu menjadi mustahil ketika potensi
dan kekuatan nilai-nilai tradisi tidak lagi menjadi energi yang
menghidupkannya. Apakah ”Kebudayaan Indonesia” pernah ada tanpa
keberagaman tradisi Masyarakat Adat Nusantara?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar