Jumat, 26 Oktober 2012

Sejarah Sumpah Pemuda Keturunan Arab

Sumpah Pemuda Keturunan Arab memiliki 3 butir pernyataan yaitu: 1. Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia. 2. Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri) 3. Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah-air dan bangsa Indonesia.
Pada tanggal 4-5 Oktober 1934, para pemuda keturunan Arab di Nusantara melakukan kongres di Semarang. Dalam kongres ini mereka bersepakat untuk mengakui Indonesia sebagai tanah air mereka, karena sebelumnya kalangan keturunan Arab berangapan bahwa tanah air mereka adalah negeri-negeri Arab dan senantiasa berorientasi ke Arab. Kongres pemuda keturunan Arab ini jarang diketahui masyarakat karena tidak diajarkan dalam mata pelajaran sejarah di Indonesia. Padahal, sumpah pemuda keturunan arab ini memiliki konsekuensi yang besar bagi diri mereka sebagai keturunan arab dan bagi dukungan perjuangan kemerdekaan di Indonesia.

Latar Belakang
Pemerintah Kolonial Belanda membagi 3 strata masyarakat di Nusantara. Kelas paling atas adalah warga kulit putih (Eropa, Amerika, Jepang dll), kelas dua warga Timur Asing (Arab, India, Cina dll) dan kelas tiga adalah pribumi Indonesia. Orang-orang Arab yang hijrah ke Indonesia mayoritas berasal dari Hadramauth, Yaman Selatan. Orang-orang arab yang datang ke Nusantara itu seluruhnya laki-laki dan karena kendala jarak serta karena tradisi arab (wanita tidak ikut bepergian) maka mereka datang tanpa membawa istri atau saudara wanita. Orang-orang arab itu menikah dengan wanita pribumi. Jika orang Eropa menyebut pribumi dengan istilah inlander (bangsa kuli) keturunan Arab menyebut pribumi dengan istilah ahwal, yang artinya saudara ibu. Sebab memang seluruh keturunan Arab pasti ibunya pribumi.
Pada 1 Agustus 1934, Harian Matahari Semarang memuat tulisan AR Baswedan tentang orang-orang Arab. AR Baswedan adalah peranakan Arab asal Ampel Surabaya. Dalam artikel itu terpampang foto AR Baswedan mengenakan blangkon. Dia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli: di mana saya lahir, di situlah tanah airku. Artikel yang berjudul “Peranakan Arab dan Totoknya” berisi anjuran tentang pengakuan Indonesia sebagai tanah air. Artikel itu juga memuat penjelasan Baswedan tentang bagaimana sikap nasionalisme yang dianjurkan pada kaumnya. Pokok-pokok pikiran itu antara lainb Tanah air Arab peranakan adalah Indonesia; Kultur Arab peranakan adalah kultur Indonesia – Islam; Arab peranakan wajib bekerja untuk tanah air dan masyarakat Indonesia; Perlu didirikan organisasi politik khusus untuk Arab peranakan; Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan perselisihan dalam masyarakat Arab; Jauhi kehidupan menyendiri dan sesuaikan dengan keadaan zaman dan masyarakat Indonesia. Artikel AR Baswedan ini dipilih oleh Majalah Tempo edisi khusus Seabad kebangkitan Nasional (Mei 2008) sebagai salah satu dari 100 tulisan paling berpengaruh dalam sejarah bangsa Indonesia.
Artikel yang menggemparkan itu ditulis AR Baswedan saat dia baru berusia 26 tahun. Karena artikel itu, warga keturunan Arab sempat berang padanya karena memunculkan gagasan merendahkan diri di mata orang-orang Arab di masa itu. Bukan hanya itu, melalui harian Matahari AR Baswedan secara rutin melontarkan pemikiran-pemikiran tentang pentingnya integrasi, persatuan orang Arab di Indonesia, untuk bersama-sama bangsa Indonesia yang lain memperjuangkan kemerdekaan bagi Indonesia. Timbulnya ide mendirikan Partai Arab Indonesia berkaitan erat dengan pengajuan prinsip tanah air Indonesia bagi kaum peranakan Arab. Ide mendirikan Partai Arab Indonesia dengan pengakuannya tentang tanah air bagi peranakan Arab dicetuskan dan dikembangkan serta juga diperjuangkan. AR Baswedan juga aktif menyerukan pada orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia. Untuk itu, AR Baswedan berkeliling ke berbagai kota untuk berpidato dan menyebarkan pandangannya pada kalangan keturunan Arab.
Konferensi Pemuda Keturunan Arab
Pada 4-5 Oktober 1934 para pemuda keturunan Arab dari berbagai kota di Nusantara berkumpul di Semarang. Pada waktu itu masyarakat Arab seluruh Indonesia gempar karena adanya Konferensi Peranakan Arab di Semarang ini. Dalam konferensi PAI di Semarang AR Baswedan pertama-tama mengajukan pertanyaan di mana tanah airnya. Para pemuda yang menghadiri kongres itu mempunyai cita-cita bahwa bangsa Arab Indonesia harus disatukan untuk kemudian berintegrasi penuh ke dalam bangsa Indonesia. Dalam konferensi itu parap pemuda Indonesia keturunan Arab membuat sumpah: “Tanah Air kami satu, Indonesia. Dan keturunan Arab harus meninggalkan kehidupan yang menyendiri (isolasi)”. Sumpah ini dikenal dengan Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab.
Menurut AR Baswedan persatuan adalah modal utama bagi Arab peranakan untuk kemudian bersama-sama kaum pergerakan nasional bersatu melawan penjajah. Sebelumnya kongres itu seluruh keturunan Arab -biarpun mereka yang cerdas dan terkemuka- tidak ada yang mengakui Indonesia sebagai tanah airnya. Mereka berpendapat bahwa tanah airnya adalah di negeri Arab bukan Indonesia. AR Baswedan menjadi pelopor bangkitnya nasionalisme kaum Arab yang awalnya enggan mengakui Indonesia sebagai tanah air. Sejak 4 Oktober 1934 itu keturunan Arab bersatu bersama pergerakan nasional dan meninggalkan identitas ke-Araban, lalu berubah identitas dari semangat kearaban menjadi semangat keIndonesiaan.
Sebuah pengakuan yang jelas bagi keturunan Arab bahwa tanah airnya adalah Indonesia. Ketegasan ini pada awalnya banyak yang menentang. Namun perlahan seruan Kongres ini menggema. Banyak peranakan Arab yang mendukung dan mengikuti pergerakan dan gagasan ini. Gagasan sangat berjasa melahirkan kesadaran Indonesia sebagai tanah air bagi orang Arab. Peranakan Arab pada akhirnya diakui sebagai saudara setanah air. Sejarah mencatat pendirian PAI ini selanjutnya memberi efek besar bagi komunitas Arab di Indonesia. Banyak tokoh-tokohnya ikut berjuang saat itu duduk dalam pemerintahan dan aktif dalam masyarakat Indonesia. Anak dan keturunannya di masa sekarang juga tidak sedikit yang berkiprah sebagai tokoh nasional.
Tokoh-Tokoh
Sumpah Pemuda Keturunan Arab ini dihadiri oleh tokoh-tokoh pemuda keturunan Arab. Hasil konferensi itu adalah dibentuknya Persatuan Arab Indonesia yang kemudian menjadi Partai Arab Indonesia. Dalam konferensi itu disepakati pengurusan PAI sebagai berikut: AR Baswedan (Ketua), Nuh Alkaf (Penulis I), Salim Maskati (Penulis II), Segaf Assegaf (Bendahara), Abdurrahim Argubi (Komisaris). Tokoh PAI lainnya adalah Hamid Algadri, Ahmad Bahaswan, HMA Alatas, HA Jailani, Hasan Argubi, Hasan Bahmid, A. Bayasut, Syechan Shahab, Husin Bafagih, ALi Assegaf, Ali Basyaib dll.

Taman Mini Indonesia Indah


TMII  (Taman Mini Indonesia Indah) adalah salah satu wisata terkenal di Indonesia dan merupakan kawasan objek wisata yang terbilang megah dengan luas area 165 hektar, terletak di Jakarta Timur.
Lahan tersebut awal mulanya merupakan daerah persawahan dan perladangan milik rakyat, namun kemudian ditransformasikan menjadi kawasan wisata TMII. Taman mini indonesia indah sengaja dibuat sebagai wahana yang dapat merepresentasikan kebhinekaan Indonesia dan kekayaan khasanah budaya bangsa. Sedangkan tujuan pendirian taman miniatur ini adalah untuk memupuk dan membina persatuan bangsa, menjunjung tinggi kebudayaan nasional, dan memperkenalkan kebudayaan, adat-istiadat, dan perilaku masyarakat Indonesia kepada rakyat Indonesia sendiri dan bangsa lain. Tujuan-tujuan tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam objek-objek wisata yang disajikan di kawasan TMII, seperti anjungan daerah, museum, taman, tempat rekreasi, dan lain-lain.

Gagasan Pendirian Taman Mini Indonesia Indah.
Sejarah mencatat, bahwa gagasan awal mula pendirian kawasan wisata TMII adalah oleh Ibu Negara Siti Hartinah Soeharto yang lebih akrab dengan Ibu Tien Soeharto. Prakarsa tersebut diilhami oleh pidato Presiden Soeharto tentang keseimbangan pembangunan antara bidang fisik-ekonomi dan bidang mental-spiritual.
Selaku ketua Yayasan Harapan Kita (YHK), yang berdiri pada tanggal 28 Agustus 1968, Ibu Tien Soeharto menyampaikan gagasan pembangunan Miniatur Indonesia pada rapat pengurus YHK tanggal 13 Maret 1970 di Jl. Cendana No. 8, Jakarta. Bentuk dan sifat isian proyek berupa bangunan utama bercorak rumah-rumah adat daerah yang dilengkapi dengan pergelaran kesenian, kekayaan flora-fauna, dan unsur budaya lain dari masing-masing daerah yang ada di Indonesia. Gagasan itu dilandasi, antara lain, semangat untuk membangkitkan kebanggaan dan rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa serta untuk memperkenalkan Indonesia kepada bangsa-bangsa lain di dunia.
Tanggal 30 Januari 1971, pada penutupan Rapat Kerja Gubernur, Bupati, dan Walikota seluruh Indonesia di Istana Negara yang juga dihadiri oleh Presiden, Ibu Tien Soeharto dengan didampingi Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud untuk pertama kalinya memaparkan maksud dan tujuan pembangunan Miniatur Indonesia “Indonesia Indah” di depan umum. Berbagai saran, tanggapan, dan pemikiran dari berbagai kelompok masyarakat pun muncul, yang sebagian besar mendukung pembangunan proyek tersebut.
Pada tanggal 11 Agustus 1971, dengan surat YHK, Ibu Tien Soeharto menugaskan Nusa Consultans untuk membuat rencana induk dan studi kelayakan. Tugas itu selesai dalam waktu 3,5 bulan.
Lokasi pembangunan proyek awalnya berada di daerah Cempaka Putih, di atas tanah seluas + 14 hektar. Namun Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menyarankan lokasi di daerah sekitar Pondok Gede, Kecamatan Pasar Rebo, dengan luas tanah ± 100 hektar. Selain lebih luas, lokasi itu juga mengikuti perkembangan kota Jakarta di kemudian hari. Ibu Tien Soeharto menerima saran tersebut, karena dengan lahan yang lebih luas memungkinkan proyek miniatur Indonesia menampilkan rumah-rumah adat daerah dan bangunan-bangunan lain dalam ukuran yang sebenarnya.
Pada tanggal 30 Juni 1972 pembangunan dimulai tahap demi tahap secara bersinambung. Rancangan bangunan utama berupa peta relief Miniatur Indonesia berikut penyediaan airnya, Tugu Api Pancasila, bangunan Joglo, dan Gedung Pengelolaan disiapkan oleh Nusa Consultants berikut pembuatan jalan dan penyediaan kaveling tiap-tiap bangunan. Rancangan bangunan lain, seperti bangunan khas tiap daerah, dikerjakan oleh berbagai biro arsitek, sedang Nusa Consultants hanya membantu menjaga keserasian secara keseluruhan.
Berkat kegotong-royongan semua potensi nasional: masyarakat di sekitar lokasi, pemerintah pusat dan daerah, swasta, dan berbagai unsur masyarakat lainnya, dalam kurun waktu tiga tahun pembangunan TMII tahap pertama dinyatakan selesai.
Pada tanggal 20 April 1975 Taman Mini “Indonesia Indah” diresmikan pembukaannya oleh Presiden Soeharto.
TMII telah mempunyai logo berhuruf I dan I, kedua huruf ini mewakili nama Indonesia Indah. Sedangkan maskotnya berupa tokoh wayang Hanoman yang dinamakan NITRA (Anjani Putra).
Sebagai kawasan wisata yang dikonsep secara matang, sejak usia dini TMII telah mengantongi berbagai penghargaan di bidang pariwisata, baik penghargaan dari pemerintah daerah maupun lembaga internasional. Penghargaan ini salah satunya berasal dari Pemerintah DKI Jakarta yang diberikan pada tahun 1976, 1977, 1978, 1981, 1991, 1992, 1993, dan 1995. Selain itu, TMII juga pernah menggondol penghargaan pelestarian kebudayaan Golden Award dari Pacific Asian Travel Assosiation (PATA) pada tahun 1987. Khusus di bidang pembinaan industri kecil, TMII juga pernah mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia berupa Upakarti Kepeloporan pada tahun 1990.

Tentang Rupiah


Sehari-hari kita tak pernah lepas dari rupiah. Pernahkah kita berpikir mengapa Indonesia menggunakan nama mata uang rupiah?
Ternyata, perkataan “rupiah” berasal dari kata “Rupee”, satuan mata uang India.
Sebelum menggunakan Rupee, Indonesia telah menggunakan mata uang Gulden Belanda dari tahun 1610 hingga 1817. Setelah tahun 1817, pemerintah kolonial memperkenalkan mata uang baru, yakni Gulden Hindia Belanda.

Mata uang rupiah pertama kali diperkenalkan secara resmi pada waktu pendudukan Jepang pada Perang Dunia ke-2, dengan nama rupiah Hindia Belanda. Setelah berakhirnya perang, Bank Jawa (Javaans Bank, selanjutnya menjadi Bank Indonesia) memperkenalkan mata uang rupiah jawa sebagai pengganti.
Mata uang Gulden NICA yang dibuat oleh Sekutu dan beberapa mata uang yang dicetak juga berlaku pada masa itu.
Sejak 2 November 1949, empat tahun setelah merdeka, Indonesia menetapkan Rupiah sebagai mata uang kebangsaannya yang baru. Namun, mata uang itu belum dipakai secara utuh di seluruh nusantara.
Kepulauan Riau dan Irian Barat memiliki variasi rupiah mereka sendiri, tetapi penggunaan variasi rupiah dibubarkan pada tahun 1964 di Riau dan 1974 di Irian Barat.
Rupiah memiliki satuan di bawahnya. Pada masa awal kemerdekaan, rupiah disamakan nilainya dengan Gulden Hindia Belanda, sehingga dipakai pula satuan-satuan yang lebih kecil yang berlaku di masa kolonial
Tentang Rupiah (Bagian II)
Rupiah merupakan mata uang resmi Indonesia. Nama rupiah biasanya dikaitkan oleh banyak pihak sebagai pelafalan dari ”rupee” mata uang India, namun sebenarnya menurut Adi Pratomo, salah satu peneliti sejarah uang Indonesia, rupiah diambil dari kata rupia dalam bahasa Mongolia. Rupia sendiri berarti perak. Memang sama dengan arti rupee, namun rupiah sendiri merupakan pelafalan asli Indonesia karena adanya penambahan huruf ’h’ di akhir kata rupia, sangat khas sebagai pelafalan orang-orang Jawa. Hal ini sedikit berbeda dengan banyak anggapan bahwa rupiah adalah salah satu unit turunan dari mata uang India. Rupee India sebenarnya juga dapat dikatakan sebagai turunan dari kata rupia itu sendiri, dengan begitu rupiah Indonesia memiliki tingkatan yang sama bukan sebagai unit turunan dari mata uang India tersebut.
Pada masa-masa awal kemerdekaan, Indonesia belum menggunakan mata uang rupiah namun menggunakan mata uang resmi yang dikenal sebagai ORI.. ORI memiliki jangka waktu peredaran di Indonesia selama 4 tahun, ORI sudah mulai digunakan semenjak 1945-1949. Namun penggunaan ORI secara sah baru dimulai semenjak diresmikannya mata uang ini oleh pemerintah sebagai mata uang Indonesia pada 30 Oktober 1946. ORI pada masa awal tersebut dicetak oleh Percetakan Canisius dengan bentuk dan disain yang sangat sederhana dan menggunakan pengaman serat halus. Bahkan dapat dikatakan ORI pada masa tersebut merupakan mata uang yang sangat sederhana, seadanya, dan cenderung berkualitas kurang, apalagi jika dibandingkan dengan mata uang lainnya yang beredar di Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan tersebut ORI beredar luas di masyarakat meskipun uang ini hanya dicetak di Yogyakarta saja. ORI sedikitnya sudah dicetak sebanyak lima kali dalam jangka waktu empat tahun antara lain, cetakan I pada 17 Oktober 1945, seri II pada 1 Januari 1947, seri III dikeluarkan pada 26 Juli 1947. Pada masa itu ORI merupakan mata uang yang memiliki nilai yang sangat murah jika dibandingkan dengan uang-uang yang dikeluarkan oleh de Javasche Bank. Padahal uang ORI adalah uang langka yang semestinya bernilai tinggi.
Ada banyak keraguan sebenarnya mengenai bagaimana tepatnya mata uang ini mulai ada dan dipakai sebagai mata uang resmi. Pada masa setelah diresmikannya rupiah masih ada satu bentuk mata uang yang sempat dipakai di Indonesia. Mata uang ini adalah mata uang yang dikeluarkan pada masa RIS yang dikenal sebagai mata uang RIS. Mata uang ini masuk dalam sejarah perkembangan mata uang Indonesia sebagai pengganti sementara Rupiah. Setelah masa RIS berakhir mata uang Indonesia kembali menjadi rupiah, namun tidak ada sumber pasti yang menyebutkan mengenai waktu transisi secara tepat dari mata uang RIS ke mata uang rupiah ini. Setelah masa RIS tersebut rupiah mulai dipakai secara umum dan mulai banyak mengalami perkembangan dan penyempurnaan. Sebagai mata uang resmi Indonesia, rupiah kemudian dikeluarkan dan dikontrol oleh Bank Indonesia. Terlebih lagi semenjak Bank Indonesia secara resmi dijadikan bank central dan diberi kewenangan penuh untuk mengatur perbankan negara pada 1 Juli 1953. Rupiah kemudian diberi kode atau simbol yang digunakan pada semua pecahan uang kertas dan uang logam berupa Rp dan diakui oleh semua pihak.
Rupiah sendiri tidak secara langsung dapat tersebar secara merata di bumi Indonesia. Persebaran mata uang ini tidak begitu merata secara cepat. Misalnya saja, daerah kepulauan Riau dan Papua baru menggunakan mata uang rupiah pada tahun 1964 dan 1971. Semenjak dipakainya rupiah sebagai mata uang resmi, rupiah berulang kali mengalami pergolakan. Devaluasi dan Pemangkasan merupakan hal yang selalu menghiasi perkembangan rupiah. Devaluasi terjadi pada beberapa periode misalnya saja pada 7 Maret 1946, 20 September 1949 ,Februari 1952 ,September 1959, akhir Januari 1963 dan tahun 1964. Pemangkasan nilai rupiah juga tejadi pada rupiah antara lain terjadi pada 25 Agustus 1959 dan 29 Maret 1983. Perubahan-perubahan tampilan, nilai mata uang, bentuk, dan warna pun mewarnai perkembangan mata uang resmi Indonesia ini. Mulai dari ORI yang bentuk, gambar, cetakan, dan kertasnya memiliki kualitas yang buruk hingga kini uang-uang kertas telah memiliki bentuk dan tampilan yang mewah dan rapi.
Rupiah sudah mengalami banyak sekali masa-masa seiring berkembangnya bangsa ini. Rupiah juga berkembang mengikuti perkembangan masa di Indonesia. Ia sempat tidak dianggap sebagai mata uang resmi ketika ORI menjadi mata uang yang diresmikan pemerintah, ia juga sempat tergantikan oleh mata uang RIS, namun pada hakikatnya seluruh mata uang tersebut sebenarnya merupakan sejarah dari rupiah itu sendiri sebagai sebuah mata uang resmi Indonesia. Sudah banyak pahlawan, daerah nusantara, dan kebudayaan yang tergambar di mata uang rupiah. Sudah banyak seri yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengganti, memperbaiki, dan menyempurnakan mata uang kebanggan negara ini. Bagaimanapun, rupiah merupakan sebuah cermin dari bangsa Indonesia. Ketika mendengar kata rupiah, hal yang langsung terpikirkan adalah Indonesia, jelas karena rupiah adalah milik Indonesia saja dan tidak ada negara lain yang memiliki rupiah. Sebagai salah satu kebangaan negara, sudah semestinya rupiah juga dijunjung tinggi. Rupiah sudah selayaknya diakui, dibanggakan, dan dijaga oleh setiap warga negara Indonesia.

SEJARAH KONFERENSI ASIA AFRIKA


Berakhirnya Perang Dunia II pada bulan Agustus 1945,tidak berarti berakhir pula situasi permusuhan di antara bangsa-bangsa di dunia dan tercipta perdamaian dan keamanan. Ternyata di beberapa pelosok dunia, terutama dibelahan bumi Asia Afrika,masih ada masalah dan muncul masalah baru yang mengakibatkan masalah baru yang mengakibatkan permusuhan yang terus berlangsung,bahkan pada tingkat perang terbuka, seperti di Jazirah Korea, Indo Cina, Palestina, Afrika Selatan, Afrika Utara.
Masalah-masalah tersebut sebagian disebabkan oleh lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan secara ideology maupun kepentingan,yaitu Blok Barat dan Blok Timur.Blok Barat dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur dipimpin oleh Uni Sovyet. Tiap-tiap Blok berusaha menarik negara-negara Asia dan afrika agar menjadi pendukung mereka. Hal ini mengakibatnkan tetap hidupnya dan bahkan tumbuhnya suasana permusuhan yang terselubung diantara dua Blok itu dan pendukungnya. Suasana permusuhan tersebut dikenal dengan nama “Perang Dingin”.

Timbulnya pergolakan didunia disebabkan pula masih adanya penjajahan di bumi kita ini, terutama di belahan Asia dan Afrika. Memang sebelum tahun 1945, pada umumnya dunia Asia dan Afrika merupakan daerah jajahan bangsa Barat dalam aneka bentuk. Tetapi sejak tahun 1945, banyak di daerah Asia Afrika menjadi negara merdeka dan banyak pula yang masih berjuang bagi kemerdekaan negara dan bangsa mereka seperti Aljazair, Tunisia, dan Maroko di wilayah Afrika Utara; Vietnam di Indo Cina; dan di ujung selatan Afrika. Beberapa negara Asia Afrika yang telah merdeka pun masih banyak yang menghadapi masalah-masalah sisa penjajahan seperti Indonesia tentang Irian Barat , India dan Pakistan terpaksa mengungsi, karena tanah air mereka diduduki secara paksa oleh pasukan Israel yang di Bantu oleh amerika Serikat.
Sementara itu bangsa-bangsa di dunia, terutama bangsa-bangsa Asia Afrika, sedang dilanda kekhawatiran akibat makin dikembangkannya senjata nuklir yang bisa memusnahkan umat manusia. Situasi dalam negeri dibeberapa Asia Afrika yang telah merdeka pun masih terjadi konflik antar kelompok masyarakat sebagai akibat masa penjajahan (politik divide et impera) dan perang dingin antar blok dunia tersebut.
Walaupun pada masa itu telah ada badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsi menangani masalah-masalah dunia, namun nyatanya badan ini belum berhasil menyelesaikan persoalan tersebut. Sedangakan kenyataannya, akibtan yang ditimbulkan oleh masalah-masalah ini, sebagian besar diderita oleh bangsa-bangsa di Asia Afrika.
Keadaan itulah yang melatarbelakangi lahirnya gagasan untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika.
LAHIRNYA IDE KONFERENSI
Keterangan Pemerintah Indonesia tentang politik luar negeri yang disampaikan oleh Perdana Menteri Mr.Ali Sastroamidjojo, di depan parlemen pada tanggal 25 Agustus 1953, menyatakan;
“Kerja sama dalam golongan negara-negara Asia Arab (Afrika) kami pandang penting benar, karena kami yakin, bahwa kerja sama erat negara-negara tersebut tentulah akan memperkuat usaha ke arah perdamaian dunia yang kekal. Kerjasama antar negara-negara Asia Afrika tersebut adalah sesuai benar dengan aturan-aturan dalam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang menyenangi kerjasama kedaerahan (regional arrangements). Lain dari itu negara-negara itu pada umumnya memang mempunyai pendirian-pendirian yang sama dalam beberapa soal di lapangan internasional, jadi mempunyai dasar sama (commonground)untuk mengadakan golongan yang khusus. Dari sebab itu kerja sama tersebut akan kami lanjutkan dan pererat”.
Bunyi pernyataan tersebut mencerminkan ide dan kehendak Pemerintah Indonesia untuk mempererat kerja sama di antara negara-negara Asia Afrika.
Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon (Srilangka) Sir Jhon Kotelawala mengundang para Perdana Menteri dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan suatu pertemuan informal di negaranya. Undangan tersebut di terima baik oleh semua pimpinan pemerintah negara yang diundang.
Pertemuan yang kemudian disebut Konferensi Kolombo itu dilaksanakan pada tanggal 28 April sampai dengan 2 Mei 1954. konferensi ini membicarakan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama.
Yang menarik perhatian para peserta konferensi, diantaranya pernyataan yang diajukan oleh Perdana Menteri Indonesia :
“Where do we stand now, we the peoples of Asia , in this world of ours to day?” (“Dimana sekarang kita berdiri, bangsa Asia sedang berada di tengah-tengah persaingan dunia?”), kemudian pernyataan tersebut dijawab sendiri dengan menyatakan:
“We have noe indeed at the cross-roads of the historyof mankind. It is therefore that we Prime Minister of five Asian countries are meeting here to discuss those crucial problems whice urge Indonesia to propose that another conference be convened wide3r in scope, between the African and Asian Nations. I am convined that the problems are not only convened to the Asian countries represented here but also are of equal importance to the Afrika and other Asian countries”.
(Kita sekarang berada dipersimpangan jalan sejatah umat manusia. Oleh karena itu kita Lima Perdana Menteri negara-negara Asia bertemu disini untuk membicarakan masalah-masalah yang krusial yang sedang dihadapi oleh masyarakat yang kita wakili. Ada beberapa hal yang mendorong Indonesia mengajukan usulan untuk mengadakan pertemuan lain yang lebih luas, antara negara-negara Afrika dan Asia . Saya percaya bahwa masalah-masalah itu tidak terjadi hanya di negara-negara Asia yang terwakili disini, tetapi juga sama pentingnya bagi negara-negara Afrika dan Asia lainnya”).
Pernyataan tersebut memberi arah kepada lahirnya Konferensi Asia Afrika.
Selanjutnya, soal perlunya Konferensi Asia Afrika diadakan, diajukan pula oleh Indonesia dalam sidang berikutnya. Usul itu akhirnya diterima oleh semua konferensi, walaupun masih dalam suasana keraguan.
Perdana Menteri Indonesia pergi ke Kolombo untuk memenuhi undangan Perdana Menteri Srilangka dengan membawa bahan-bahan hasil perumusan Pemerintah Indonesia . Bahan-bahan tersebut merupakan hasil rapat dinas Kepala-kepala Perwakilan Indonesia di negara-negara Asia dan Afrika yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Mr.Sunario. rapat dinas tersebut diadakan di tugu ( Bogor ) pada tanggal 9 Sampai dengan 22 Maret 1954.
Akhirnya, dalam pernyataan bersama pada akhir Konferensi Kolombo, dinyatakan bahwa para Perdana Menteri peserta konferensi mkembicarakan kehendak untuk mengadakan konferensi negara-negara Asia Afrika dan menyetujui usul agar Perdana Menteri Indonesia dapat menjejaki sampai dimana kemungkinannya mengadakan konferensi semacam itu.
USAHA-USAHA PERSIAPAN KONFERENSI
Konferensi Kolombo telah menugaskan Indonesia agar menjejaki kemungkinan untuk diadakannya Konferensi Asia Afrika. Dalam rangka menunaikan tugas itu Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan melalui saluran diplomatic kepada 18 negara Asia Afrika. Maksudnya, untuk mengetahui sejauh mana pendapat negara-negara tersebut terhada ide mengadakan Konferensi Asia Afrika. Dalam pendekatan tersebut dijelasakan bahwa tujuan utama konferense tersebut ialah untuk membicarakan kepentingan bersama bangsa-bangsa Asia afrika pada saat itu, mendorong terciptanya perdamaian dunia, dan mempromosikan Indonesia sebagai tempat konferensi. Ternyata pada umumnya negara-negara yang dihubungi menyambut baik ide tersebut dan menyetujui Indonesia sebagai tuan rumahnya, walaupun dalam hal waktu dan peserta konferensi terdapat berbagai pendapat yang berbeda.
Pada tanggal 18 Agustus 1954, Perdana Menteri Jawaharlal Nehru dari India, melalui suratnya, mengingatkan Perdana Menteri Indonesia tentang perkembangan situasi dunia dewasa ini yang semakin gawat, sehubungan dengan adanya usul untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika. Memang Perdana Menteri India dalam menerima usul itu masih disertai keraguan akan berhasil-tidaknya usul itu dilaksanakan. Barulah setelah kunjungan Perdana Menteri Indonesia pada tanggal 25 September 1954, beliau yakin benar akan pentingnya diadakan konferensi semacam itu, seperti tercermin dalam pernyataan bersama pada akhir kunjungan Perdan Menteri Indonesia :
“The prime reprensentatives discussed also the proposal to have a conference of representatives of Asians and African countries and were agreed that a conference of this kind was desirble and world be helpful in promoting. Is should be held at an early date”.
(“Para Perdana Menteri telah membicarakan usulan untuk mengadakan sebuah konferensi yang mewakili negara-negara Asia dan Afrika serta menyetujui konferensi seperti ini sangat diperlukan dan akan membantu terciptanya perdamaian sekaligus pendekatan bersama ke arah masalah (yang dihadapi). Hendaknya konferensi ini diadakan selekas mungkin”).
Keyakinan serupa dinyatakan pula oleh Perdana Menteri Birma U Nu pada tanggal 28 september 1954.
Dengan demikian, maka usaha-usaha penyelidikan atas kemungkinan diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika dianggap selesai dan berhasil serta usaha selanjutnya ialah mempersiapkan pelaksanaan konferensi itu.
Atas undangan Perdana Menteri Indonesia, para Perdan Menteri peserta Konferensi Kolombo (Birma, Srilangka, India, Indonesia, dan Pakistan) mengadakan Konferensi di Bogor pada tanggal 28 dan 29 Desember 1954, yang dikenal dengan sebutan Konferensi Panca Negara. Konferensi ini membicarakan persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika.
Konferensi Bogor berhasil merumuskan kesepakatan bahwa Konferensi Asia Afrika diadakan atas penyelenggaraan bersama dan kelima negara peserta konferensi tersebut menjadi negara sponsornya. Undangan kepada negara-negara peserta disampaikan oleh Pemerintah Indonesia atas nama lima negara.
TUJUAN KONFERENSI
Konferensi Bogor menghasilkan 4 tujuan pokok Konferensi Asia Afrika yaitu :
1. Untuk memajukan goodwill (kehendak yang luhur) dan kerjasama antar bangsa-bangsa Asia dan Afrika , untuk menjelajah serta memajukan kepentingan-kepentingan mereka , baik yang silih ganti maupun yang bersama, serta untuk menciptakan dan memajukan persahabatan serta perhubungan sebagai tetangga baik.
2. Untuk mempertimbangkan soal-soal serta hubungan-hubungan di lapangan social , ekonomi , dan kebudayaan Negara yang diwakili.
3. Untuk mempertimbangkan soal-soal yang berupa kepentingan khusus bangsa-bangsa Asia dan Afrika, misalnya soal-soal yang mengenai kedaulatan nasional dan tentang masalah-masalah rasialisme dan kolonialisme.
4. Untuk meninjau kedudukan Asia dan Afrika , serta rakyat-rakyatnya didalam dunis dewasa ini serta sumbangan yang dapat mereka berikan guna memajukan perdamaian serta kerja sama didunia.
PESERTA DAN WAKTU KONFERENSI
Negara-negara yang diundang disetujui berjumlah 25 negara.yaitu : Afganistan, Kamboja, Federasi Afrika Tengah, Republik Rakyat Tiongkok (China), Mesir, Ethiopia, Pantai Emas (Gold Coast), Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Libanon, Liberia, Libya, Nepal, Filipina, Saudi Arabia, Sudan, Syria, Thailand (Muang thai), Turki, Republik Demokrasi Vietnam (Vietnam Utara), Vietnam Selatan, dan Yaman . Waktu Konferensi ditetapkan pada minggu terakhir April 1995.
Mengingat Negara-negara yang akan diundang mempunyai politik luar negeri serta system politik dan social yang berbeda-beda.Konferensi Bogor menentukan bahwa menerima undangan untuk turut dalam konferensi Asia Afrika tidak berarti bahwa Negara peserta tersebut akan berubah atau dianggap berubah pendiriannya mengenai status dari negara-negara lain.Konferensi menjunjung tinggi pula asas bahwa bentuk pemerintahan atau cara hidup sesuatu negara sekali-sekali tidak akan dapat dicampuri oleh negara lain.Maksud utama konferensi ialah supaya negara-negara peserta menjadi lebih saling mengetahui pendirian mereka masing-masing
PELAKSANAAN KAA 1955
Gedung Dana Pensiun dipersiapkan sebagai tempat sidang-sidang Konferensi . Hotel Homann, Hotel Preanger, dan 12 (duabelas) hotel lainnya serta perumahan perorangan dan pemerintah dipersiapkan pula sebagai tempat menginap para tamu yang berjumlah 1300 orang.
Keperluan transport dilayani oleh 143 mobil, 30 taksi, 20 bus, dengan jumlah 230 sopir dan 350 ton bensin tiap hari serta cadangan 175 ton bensin.
Dalam kesempatan memeriksa persiapan-persiapan terakhir di Bandung pada tanggal 17 April 1955, Presiden RI Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi Warna, dan sebagian Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika. Penggantian nama tersebut dimaksudkan untuk lebih menyemarakkan konferensi dan menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan tujuan konferensi.
Pada tanggal 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan kepada Kepala Pemerintahan 25 (dua puluh lima ) negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara yang diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi Afrika Tengah (Central African Federation), karena memang negara itu masih dikuasai oleh orang-orang bekas penjajahnya. Sedangkan 24 (dua puluh empat) negara lainnya menerima baik undangan itu, meskipun pada mulanya ada negara yang masih ragu-ragu. Sebagian besar delegasi peserta konferensi tiba di Bandung lewat Jakarta pada tanggal 16 April 1955.
Dalam penutup komunike terakhir dinyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika menganjurkan menganjurkan supaya kelima negara penyelenggara mempertimbangkan untuk diadakan pertemuan berikutnya dari konferensi ini, dengan meminta pendapat negara-negara pesreta lainnya. Tetapi usaha untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika kedua sesalu mengalami hambatan yang sulit diatasi. Tatkala usaha itu hampir terwujud (1964), tiba-tiba di negara tuan rumah (Aljazair) terjadi pergantian pemerintahan, sehingga konferensi itu jadi.
Konferensi Asia Afrika di Bandung, telah berhasil menggalang persatuan dan kerja sama di antara negara-negara Asia dan Afrika,baik dalam menghadapi masalah internasional maupun masalah regiobal . Konferensi serupa bagi kalangan tertentu di Asia dan Afrika beberapa lkali diadakan pula, seperti Konferensi Wartawan Asia Afrika , Konferensi Islam Asia Afrika, Konferensi Pengarang Asia Afrika, dan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika.
Konferensi Asia Afrika telah membakar semangat dan menambah kekuatan moral para pejuang bangsa-bangsa Asia da Afrika yang pada masa itu tengah memperjuangkan kemerdekaan tanah air mereka, sehingga kemudian lahirlah sejumlah negara merdeka dibenua Asia dan Afrika. Semua itu menandakan bahwa ciat-cita dan semangat Dasa Siala Bandung semakin merasuk kedalam tubuh bangsa-bangsa Aia dan Afrika.
Jiwa Bandung dengan Dasa Silanya telah mengubah pandangan dunia tentang hubungan internasional. Bandung telah melahirkan faham Dunia Ketiga atau “ Non-Aligned”terhadap dunia pertamanya Washington dan Dunia keduanya Moscow Jawa Bandung telah mengubah juga struktur perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Forum PBB bukan lagi forum eksklusif Barat dan Timur.
Sebagai penutup uraian singkat ini, dikutip bagian terakhir pidato penutupan Ketua Konferensi Asuia Afrika sebagai berikut : “May we continue on the way we have taken together and may the Bandung Conference stay as a beacom guiding the future progress of Asia and Afrika”
( “ Semoga kita dapat meneruskan perjalanan kita diatas jalan yang telah kita pilih bersama-sama dan semoga Konferensi Bandung ini tetap tegak sebagai sebuah mercusuar yang membimbing kemajuan dimasa depan dari Asia dan Afrika “)
KOMUNIKE AKHIR KONFERENSI ASIA AFRIKA
Konferensi Asia Afrika bersidang di Bandung dari tanggal 18 sampai 24 April 1955, atas undangan dari para Perdana Menteri Birma, Srilanka , India , Indonesia , dan Pakistan . Kecuali negara-negara sponsor, konferensi ini juga dihadiri oleh 24 negara sebagai berikut :
1. Kamboja
2. Republik Rakyat Cina
3. Ethiopia
4. Pantai Emas
5. Iran
6. Irak
7. Jepang
8. Yordania
9. Laos
10. Lebanon
11. Liberia
12. Libya
13. Nepal
14. Filipina
15. Saudi Arabia
16. Sudan
17. Syiria
18. Muang Thai
19. Turki
20. Republik Demokrasi Viet-Nam
21. Viet-nam Selatan
22. Yaman
23. Afganistan
24. Mesir
Konferensi Asia Afrika membicarakan masalah-masalah yang menjadi perhatian dan kepentingan bersama negara-negara Asia dan Afrika dan membahas cara-cara dan upaya-upaya agar rakyat mereka dapat mencapai kerjasama ekonomi , kebudayaan, dan politik yang lebih erat.
1. KERJASAMA EKONOMI
2. KERJASAMA KEBUDAYAAN
3. HAK-HAK ASASI MANUSIA DAN HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI
4. MASALAH RAKYAT-RAKYAT YANG BELUM MERDEKA
5. MASALAH-MASALAH LAINNYA
6. PENINGKATAN PERDAMAIAN DAN KERJASAMA DUNIA
7. DEKLARASI TENTANG PENINGKATAN PERDAMAIAN DAN KERJASAMA DUNIA
Konferensi Asia Afrika menyatakan keyakinannya, bahwa kerukunan kerjasama yang sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut akan memberikan sumbangan yang berhasilguna bagi pemeliharaan dan peningkatan perdamaian dan keamanan internasional, sedang bekerjasama dibidang ekonomi, sosial dan kebudayaan akan membantu terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran semua.
Konferensi Asia Afrika menganjurkan agar kelima negara sponsor memikirkan penyelenggaraan konferensi berikutnya, setelah berkonsultasi dengan negara-negara peserta.

Hj Munasiah Nadjamuddin, Seniman Multi Talenta


KEMAUAN dan kerja keras membawanya menjadi sosok yang dikenal sebagai seniman wanita multi talenta. Disebut multi talenta karena ia menciptakan karya-karya besar di beberapa bidang kesenian dan sastra sampai saat ini. Dia adalah Hj Munasiah Nadjamuddin.
Beberapa karya wanita yang lahir 70 tahun silam ini. Di bidang seni tari, wanita bersuamikan (almarhum) Najamuddin (tokoh sepakbola Makassar) mampu menciptakan, Tari Pagalung, Tari Nelayan, Tari Patoeng, Tari Batara, dan beberapa tarian lainnya. Semua diciptakannya dengan “menguras” otaknya sendiri.

Hasilnya, sejumlah juara nasional mampu diraihnya. Tari Pagalung menghantarkannya pentas di Jakarta. Tepatnya, tahun 1965. Dia mampu menyabet juara II nasional. Namun, usahanya berkarier di seni tari tidak didapatkan dengan mudah. Berbagai rintangan juga dilaluinya.
“Dulu orang tua tidak suka kalau saya menari. Kalau sudah pulang ke rumah biasanya dicubit. Mereka (orang tua) tidak tahu saya ke mana. Padahal, saya tidak kemana-mana hanya ke rumah ibu Nani Sapada (Hj Andi Siti Nurhani Sapada), menari. Sebenarnya, lebih banyak sukanya dibanding duka. Saya juga sempat menjadi penari di istana (negara). Itu sekitar tahun 1957,” tandasnya.
Munasiah mengenal tari sejak usia 10 tahun. Talenta seninya yang begitu besar dan kemauan berusaha membuat dirinya menjadi seorang seniman besar di Indonesia. “Semua orang bilang begitu. Pak Pangerang Pettarani juga menilai talenta saya waktu itu. Sampai-sampai saya ditarik untuk bekerja di kantor gubernur. Padahal saya seorang guru,” ungkapnya.
Guru memang merupakan latar belakang wanita ini. Bekerja sebagai tenaga pendidik merupakan salah satu caranya untuk memajukan dunia kesenian di daerah Sulsel. Berbagai metode pelajaran disusunnya dengan rapih. Metode-metode pelajaran ini akhirnya disusun menjadi sebuah buku. Buku itu berjudul “Tari Tradisional Sulawesi Selatan”. Kini buku itu telah menjadi buku panduan bagi penari pemula.
Buku ini dicetak tahun 1983 di Percetakan Bhakti Baru. Buku yang disunting wartawan Senior Sulsel, HM Alwi Hamu dan H Syamsu Nur, ini dicetak sebanyak 136 ribu. Di edisi cetakan pertama, buku tersebut membuat gempar seluruh Sulsel. Bukan hanya skala lokal saja, tetapi, buku ini tersebar hingga luar negeri.
“Buku ini lengkap. Juga terdapat buku pengetahuan karawitan daerah Sulsel. Jadi, dijual satu paket. Tapi, dicetak di Jakarta. Dari buku itu, saya juga kadang mengajar melalui telepon ke Jerman. Mereka minta supaya saya jelaskan gerakan-gerakannya. Yah, kujelaskanmi juga lewat telepon,” ucap, Bunda (begitu ia biasa disapa), seraya tertawa.
Selain membuat sebuah buku, wanita yang melahirkan 10 orang anak ini juga membuat novel. Karya tulisnya, seperti, novel gilimanuk, Jalabaranna Bantaeng, Malania Daeng Makanang. Bahkan, juga terdapat beberapa buah karya – karya tulisnya berupa puisi. Seperti, kumpulan puisi Tiga Perempuan.
Berkat ketenarannya melalui dunia seni tari ini, dia juga terjun ke ranah politik. Bahkan melalui partai politik dia merasakan duduk di parlemen selama dua periode. Berkat kepiawaiannya di dunia seni, bahkan tidak segan-segan dia muncul film layar lebar berjudul “Jangan Rebut Cintaku”.
Film yang menghantarkan Rahman Arge mendapatkan piala citra ini, Bunda beradu akting bersama, Conny Sutedja, Dian Nitami, Mathias Muchus. Nah, industri per-film-an ini yang kini dirindukan nenek dengan puluhan cucu ini.
“Saya berencana membuat film berjudul “Perjalanan”. Diharap pemerintah Sulsel dan Sulbar mendukung film ini,” tandasnya.
Film “Perjalanan” ini tidak terpisah dari sejarah. Sedianya film yang disutradarai Arman Dewarti ini akan menceritakan hubungan antara Kerajaan Badung (Bali), Mamuju, Sulbar, serta Gowa, Sulsel. Film ini berlokasi syuting di Sulbar dan Sulsel.
Film ini mengisahkan tentang seorang pelaut asal Mandar, Sulbar yang senang melanglang buana. Suatu saat pelaut ini melabuhkan kapalnya di Batulicin, Balikpapan. Di daratan dia bertemu dengan seorang wanita asal Bali. Pertemuan ini berlanjut hingga ke pelaminan. Dari pernikahannya ini, pelaut ini kemudian melahirkan seorang anak.
Berselang beberapa lama, pelaut ini kembali ke kampung asalnya. Anak dan istrinya tetap berada di Balikpapan. Tiba di kampung halamannya, pelaut ini kembali dinikahkan dengan seorang putri. Pernikahan keduanya ini juga membuahkan seorang anak.
“Berselang beberapa tahun kemudian saat anaknya beranjak dewasa dan siap untuk dinikahkan, hatinya tersentak. Ternyata, yang dilamarnya merupakan anak dari istri pertamanya. Film ini tidak akan meninggalkan hubungan sejarah dua daerah dan kondisi saat ini. Biar akan meluncurkan film, tapi, seni tari tetap menjadi perhatian saya. Saya tetap akan mengajar tari. Seni tari harus tetap terjaga dan dilestarikan generasi penerusnya,” bebernya. 

Jusuf Ronodipuro, Penyebar Kabar Proklamasi


Di negara dengan luas wilayah sebesar Indonesia, tentu bukan perkara
mudah mengabarkan berita proklamasi ke seluruh penjuru Nusantara pada
tahun 1945. Hanya radio lah yang bisa menjangkau seluruh pelosok
negeri. Kala itu satu-satunya stasiun radio yang ada hanyalah Hoso
Kyoku, milik Dai Nippon. Lalu bagaimana kabar kemerdekaan kita bisa
disebarluaskan?
Adalah seorang pria muda bernama Jusuf Ronodipuro yang kala itu
bekerja di Hoso Kyoku Jakarta (Radio Militer Jepang di Jakarta) yang
mengumandangkan pesan penting tersebut. Ia menuturkan kisahnya.
Pada tanggal 14 Agustus 1945, Jusuf muda yang bekerja sebagai
reporter di Hoso Kyoku datang seperti biasa ke kantornya di Jalan
Medan Merdeka Utara. Suasana pagi itu tampak lain, beberapa orang
Jepang yang bekerja di radio tersebut tampak bergerombol, mereka
berbisik-bisik dalam suasana yang muram, bahkan gadis-gadis Jepang
terlihat menangis.

Ternyata pada saat itu bom atom kedua sudah dijatuhkan di Nagasaki
dan Jepang menyerah kepada Sekutu. Kabar tentang menyerahnya Jepang
disampaikan oleh Mochtar Lubis yang juga bekerja di radio tersebut di
bagian monitoring. Mochtar adalah satu-satunya orang Indonesia yang
diizinkan mendengarkan siaran radio asing.
Merasa bahwa hal itu penting untuk disampaikan kepada teman-temannya
yang biasa berkumpul di Menteng Raya 31, berangkatlah Jusuf
mengendarai sepedanya untuk memberikan kabar kekalahan Jepang. Sampai
di sana, ternyata mereka sudah mendengar kabar yang sama dari Adam
Malik yang bekerja di kantor berita DOME.
Pada hari yang sama, Jusuf mendapat tugas untuk meliput kedatangan
Bung Karno dan Bung Hatta di bandara Kemayoran sepulang dari Saigon.
Beberapa utusan golongan muda di antaranya Sukarni, Chairul Saleh,
AM. Hanafi ikut menjemput dan mendesak Bung Karno dan Hatta agar
segera menyatakan kemerdekaan.
Usaha Sukarni dkk tersebut gagal. Menurut penuturan Jusuf, saat itu
Bung Karno hanya berkata, “Saudara-saudara tidak usah menunggu
umurnya jagung, karena jagung sebelum berkembang kita sudah akan
merdeka.” Tidak ada penjelasan lain dari Bung Karno.
Sepulang dari Kemayoran, Jusuf mendapat pesan dari Sukarni agar
merebut radio Hoso Kyoku karena akan ada pengumuman sangat penting.
Tetapi di pintu masuk kantor tampak tentara Kempetai berjaga-jaga dan
melarang orang masuk ke kantor. Karena Jusuf adalah karyawan, ia
diizinkan masuk. Jusuf lalu menyampaikan pesan Sukarni itu kepada
Bahtar Lubis yang sama-sama bekerja di bagian pengabaran (redaksi).
Diisolasi
Hari itu pimpinan Hoso Kyoku menyampaikan dua pengumuman kepada para
karyawan. Pertama, para karyawan yang sudah di kantor dilarang keluar
lagi dan yang di luar tidak diizinkan masuk. Kedua, siaran luar
negeri dihentikan (mungkin agar berita kekalahan Jepang tidak sampai
ke rakyat Indonesia).
Jadilah mereka semua diisolasi di kantor radio dan terpaksa bermalam
di sana. Esoknya, hari Kamis 16 Agustus 1945 tidak ada kejadian
berarti, siaran berjalan seperti biasa. Malam harinya ada sedikit
keributan di depan kantor, ternyata Sukarni datang bersama beberapa
orang Jepang tetapi dilarang masuk. Dari dalam mobil, Sukarni
berteriak, “Tunggu, akan ada pengumuman penting,” lalu ia pergi.
Di tempat lain, di sebuah rumah di Pegangsaan 56, tanggal 16 Agustus
dini hari, selepas sahur, Sukarni dkk datang ke rumah Bung Karno.
Mereka berusaha meyakinkan Bung Karno bahwa Jakarta tidak aman karena
Jakarta akan menjadi lautan api, sehingga mereka ingin mengamankan
Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok.
Kedua pemimpin tersebut setuju dan berangkatlah mereka menggunakan
mobil ke Rengasdengklok. Hari itu tak hanya serdadu Jepang yang sibuk
mencari Bung Karno dan Bung Hatta, para anggota PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) juga mencari karena sedianya hari
itu dilakukan rapat.
Malam harinya kedua pemimpin tersebut kembali ke Jakarta dan langsung
melakukan rapat perumusan naskah proklamasi di rumah Laksamana
Tadashi Mayda di Jalan Imam Bonjol No.1 dengan dihadiri anggota PPKI
dan angkatan muda.
Kembali ke Jalan Medan Merdeka, hari Jumat 17 Agustus 1945, radio
Hoso Kyoku tetap melakukan siaran seperti biasa. Jusuf dkk tidak
mengetahui bahwa Indonesia telah menyatakan kemerdekaan karena
komunikasi dengan dunia luar memang terputus.
“Siang itu beberapa mahasiswa kedokteran berhasil masuk ke lobi
membawa kertas. Di tangga, pistol yang dibawa seorang mahasiswa
terjatuh dan diketahui tentara Kanpetai. Mereka lalu ditendang dan
diusir keluar,” Jusuf mengenang. Kemungkinan mahasiswa tersebut
membawa pengumuman proklamasi untuk disiarkan.
Sore hari, sekitar jam 17.30, ketika Jusuf sedang menyiapkan menu
berbuka puasa, masuk seorang teman dari kantor berita Dome (Jusuf
lupa namanya). Dengan pakaian kotor dan basah oleh keringat karena ia
meloncati tembok belakang kantor radio, ia menyampaikan secarik
kertas.
Secarik kertas bertuliskan tulisan tangan dari Adam Malik.
Tertulis : “Harap berita terlampir disiarkan.” Lampiran berita yang
dimaksud adalah naskah proklamasi yang sudah dibacakan pukul 10 pagi.
Jusuf lalu berembuk dengan Bahtar Lubis dan beberapa orang lain
tentang pesan penting tersebut. “Semua studio dan ruang kontrol
dijaga oleh Kempetai, bahkan saat itu semua naskah siaran harus
disensor dulu termasuk lagu-lagu. Lalu saya teringat studio siaran
luar negeri yang sejak tanggal 15 sudah ditutup,” ujar Jusuf.
Untunglah nasib baik berpihak kepada mereka, ternyata studio siaran
luar negeri tidak dijaga. Dengan berhati-hati mereka menyelinap masuk
ke dalam studio. Tepat pukul 7 malam, Jusuf siap di depan corong
radio untuk menyampaikan proklamasi kemerdekaan Indonesia ke seluruh
penjuru Nusantara dan dunia.
Untuk menghindari kecurigaan Kempetai, siaran tetap berjalan seperti
biasa, tetapi kabelnya tidak diteruskan ke pemancar. Karena
sesungguhnya yang disiarkan adalah proklamasi yang dibacakan Jusuf
dari studio siaran luar negeri. Selama 15 menit mereka melakukan
siaran gelap.
Setelah itu mereka membereskan semuanya seperti sedia kala,
menggulung kabel dan mematikan lampu ruang siaran, lalu kembali ke
ruang redaksi dan berlaku seolah tidak terjadi apa-apa.
Kepala Nyaris Dipenggal
Tiba-tiba, Brak !!… pintu ruang redaksi ditendang.
Dengan wajah merah padam karena murka masuklah tentara Kempetai.
Beberapa staf radio yang berada di ruangan tersebut lari kocar-kacir.
Merek lalu menyeret Bahtar dan Yusuf ke sebuah ruangan. Di sana
mereka menjadi bulan-bulanan kemarahan Kempetai, ditonjok dan
ditendangi. Rupanya tentara Jepang baru tersadar bahwa Jusuf dkk
berhasil lolos dari pengawasan dan melakukan siaran.
Tepat saat Kempetai hendak mengayunkan samurai ke leher dua orang
itu, datang pimpinan radio Hoso Kyoku, antara lain Tomobachi dan
Shimura. Mereka lalu berbicara dalam bahasa Jepang kepada para
tentara. Selamatlah Jusuf dan Bahtar dari malaikat maut.
Malam itu pula, diumumkan penutupan radio Hoso Kyoku, semua karyawan
diminta pulang. Sekitar pukul 10 malam, Jusuf mengendarai sepedanya
hendak pulang ke rumah kosnya di bilangan Salemba. Baru beberapa
meter dari kantor, ia hampir pingsan karena sakit, lapar dan emosi
yang terkuras.
Tak kuat melanjutkan perjalanan, ia lalu mampir di rumah temannya,
seorang pelukis, Basuki Abdullah di Gang Gambir Buntu. Di sana ia
dipinjami baju karena bajunya compang-camping penuh darah, makan dan
menumpang tidur.
Mendirikan Pemancar Radio
Paginya, Jusuf pamit pulang. Dalam perjalanan ia merasakan sakit yang
luar biasa di bagian kaki dan dada akibat diinjak sepatu lars tentara
(sampai kini tempurung kaki Yusuf bengkok sehingga ia agak pincang
saat berjalan).
Dari Gambir ia mengambil jalan melewati Diponegoro lalu memutuskan
untuk memeriksakan diri ke dokter Abdulrahman Saleh di belakang RSCM
(sekarang Jalan Kimia). Sambil diperiksa, Jusuf menceritakan kejadian
yang dialaminya semalam.
Oleh Abdulrahman Saleh yang kerap disapa dokter Karbol, ia disarankan
untuk membuat pemancar radio karena pemerintahan (yang baru berusia
satu hari itu) membutuhkan radio sebagai sarana komunikasi pada
rakyat.
Jusuf lalu mengontak seorang temannya yang bekerja di bagian gudang
untuk mencarikan bahan-bahan untuk pemancar. Setelah alat-alat
terkumpul, mulailah mereka merangkai pemancar radio. “Kami mengebor
tiang-tiang dengan bor untuk gigi,” ujarnya terkekeh.
Pekerjaan tiga hari tiga malam akhirnya selesai. Tapi timbul masalah
baru, di manakah akan diletakkan pemancar itu ? Dokter Karbol menolak
jika pemancar itu ditaruh di rumahnya karena khawatir oleh patroli
Jepang. Jadilah ruang laboratorium dokter Karbol di RSCM menjadi
studio darurat.
Untuk mencapai studio tersebut, mereka harus masuk dari belakang RSCM
melewati kamar mayat yang baunya luar biasa busuk. Jusuf mengenang,
sepulang siaran ia harus merendam bajunya selama dua hari agar baunya
hilang. Meski darurat, tapi dari studio itulah Presiden Soekarno
menyampaikan pidato-pidato untuk membangkitkan semangat kepada
rakyatnya.
Selepas kemerdekaan bangsa ini yang tahun ini akan menginjak usia 61
tahun, kisah perjuangan Jusuf memang sering terlupakan dalam cerita-
cerita sejarah revolusi, padahal berkat jasanya ia berhasil
menyampaikan kabar kemerdekaan sampai ke negara-negara tetangga.
Terima kasih banyak Pak Jusuf…

Boven Digoel, Kota Bersejarah Yang Terlupakan


Sejarah mencatat Boven Digoel (kemudian disebut Boven Digul) sebagai bagian
integral dalam lintasan sejarah Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Di tempat itu
banyak bukti sejarah yang terdiam kaku tak terawat. Padahal, benda-benda
bernilai historis itu merupakan alat bukti, bahkan bisa dijadikan bahan
pelajaran sejarah perjuangan pendiri bangsa ini bagi generasi sekarang.
Sejarah mencatat pula, pada zaman Belanda, Digul merupakan tempat yang
menakutkan, jauh terisolasi di tengah lebatnya hutan belantara. Mengerikan.
Bukan hanya karena alamnya demikian keras, namun juga ada siksaan kaum
kolonialis, ada tangisan kesedihan, kegeraman dan kertakan gigi, bahkan darah
yang tertumpah untuk sebuah perjuangan membebaskan diri dari belenggu
kolonialis.

Kini, Boven Digul bukanlah Digul yang dulu. Saat ini Digul telah menjadi
kabupaten baru yang disebut Kabupaten Boven Digul.
Bila ditilik sejarahnya, sesungguhnya ada hal yang terlupakan. Nusantara ini
seharusnya dihitung dari Sabang di ujung barat, hingga Boven Digul di ujung
timur, sebagai bingkai Negara Kesatuan RI.
Melalui catatan sejarah itulah kita diingatkan bingkai Negara Kesatuan RI sudah
saatnya diperlebar hingga ke Boven Digul, sehingga tempat itu tidak boleh
dilupakan.
Kota Sejarah
Kabupaten Boven Digul dibentuk dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26
Tahun 2002, hasil pemekaran dari Kabupaten Merauke, bersamaan dengan sejumlah
kabupaten lain di bagian selatan Pulau Cenderawasih, yakni Kabupaten Asmat dan
Kabupaten Mappi. Kabupaten Boven Digul tercatat sebagai salah satu kabupaten di
wilayah Perbatasan RI – Papua Nugini, dengan ibu kotanya di Tanah Merah.
Kabupaten Boven Digul, terdiri atas Distrik Kouh, Distrik Waropko, Distrik
Mindiptana, Distrik Jair, dan Distrik Mandobo, yang akan bertambah dengan
sejumlah distrik karena pemekaran. Wilayah itu juga terdiri atas 88 kampung,
namun juga akan ada penambahan seiring kebutuhan dan perkembangan
kemasyarakatan dan perencanaan Tata Pemerintahan dan Pembangunan.
Sesuai dengan UU No 26 Tahun 2002, disebutkan kabupaten ini mempunyai batas
wilayah. Sebelah utara berbatasan dengan Distrik Suator Kabupaten Asmat, dan
Distrik Oksibil Kabupaten Pegunungan Bintang. Sebelah timur berbatasan dengan
Negara Papua Nugini. Sebelah selatan berbatasan dengan Distrik Muting dan
Distrik Okaba Kabupaten Merauke. Sebelah Barat berbatasan dengan Distrik Edera,
Distrik Obaa, dan Distrik Citak Mitak Kabupaten Mappi.
Semasa penjajahan Belanda, Kabupaten Boven Digul, yang dahulu dikenal dengan
sebutan Digul Atas, merupakan lokasi pengasingan tokoh-tokoh pejuang
kemerdekaan Indonesia. Digul Atas, terletak di tepi Sungai Digul Hilir, Tanah
Papua bagian selatan.
Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 4, disebutkan Boven Digoel
dipersiapkan dengan tergesa-gesa oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menampung
tawanan “pemberontakan November 1926″. Boven Digul kemudian digunakan pula
sebagai tempat pembuangan pemimpin-pemimpin pergerakan nasional. Jumlah
tawanannya tercatat 1.308 orang.
Tokoh-tokoh pergerakan nasional yang pernah dibuang ke sana antara lain Sayuti
Melik (1927-1938), Mohammad Hatta (1935-1936), Muchtar Lutffi, Ilyas Yacub
(tokoh Permi dan PSII Minangkabau).
Luas Boven Digul sekitar 10.000 hektare. Daerah itu berawa-rawa, berhutan
lebat, dan sama sekali terasing. Hubungan ke daerah lain sulit, kecuali melalui
laut. Berbagai suku Irian (Papua) yang masih primitif berdiam di sepanjang
tepian sungai.
Karena belum tersedia sarana kesehatan, penyakit menular sering berjangkit.
Penyakit malaria membawa banyak korban dengan serangan demam dan kencing hitam.
Sebagai contoh, Ali Arkham meninggal dunia karena penyakit ini.
Tempat pembuangan pejuang kemerdekaan itu terbagi atas beberapa bagian, yakni
Tanah Merah, Gunung Arang (tempat penyimpanan batu bara), zone militer yang
juga menjadi tempat petugas pemerintah), dan Tanah Tinggi. Sewaktu rombongan
pertama datang, Digul sama sekali belum merupakan daerah permukiman.
Rombongan pertama sebanyak 1.300 orang, sebagian besar dari Pulau Jawa,
diberangkatkan pada Januari 1927. Dan akhir Maret 1927 menyusul rombongan yang
lain dari Sumatera, jumlahnya ratusan orang. Mula-mula mereka ditempatkan di
Tanah Merah. Dua tahun kemudian, melalui seleksi ketat, sebagian dipindahkan ke
Tanah Tinggi.
Pada tahun-tahun pertama, ratusan orang meninggal karena kelaparan dan sakit.
Penderitaan itu menyebabkan banyak orang buangan mencoba melarikan diri ke
Australia. Mereka menggunakan perahu-perahu kecil buatan sendiri, tetapi
sedikit saja yang berhasil. Sebagian terpaksa kembali, lainnya mati tenggelam.
Selain itu, muara sungai dijaga kapal Belanda, sementara orang Irian, ketika
itu menunjukkan sikap tak bersahabat.
Pada waktu Perang Pasifik meletus dan Jepang menduduki Indonesia, tawanan Boven
Digul diungsikan oleh Belanda ke Australia. Pemindahan itu didasari
kekhawatiran tahanan akan memberontak jika tetap di Boven Digul. Diharapkan,
orang-orang Indonesia yang dibawa ke Australia akan membantu Belanda. Ternyata,
tahanan politik itu mempengaruhi serikat buruh Australia untuk memboikot
kapal-kapal Belanda yang mendarat di Benua Kanguru. Nantinya setelah Sekutu
berhasil memperoleh kemenangan, tawanan itu dikembalikan ke tempat asalnya di
Indonesia.
Monumen
Di kabupaten itu ada sejumlah peninggalan Pemerintah Belanda dan juga para
tawanan politik ketika itu. Di antaranya rumah sakit Belanda, rumah para
bestuur (pengurus), penjara bawah tanah, dan makam tawanan. Untuk untuk
mengenang kaum Digulist di kabupaten itu didirikan monumen yang dikenal dengan
nama Digul Dalam Tembaga di Taman Makam Pahlawan di Ujung B Desa Sokanggo
Distrik Mandobo.
Sayangnya, kata Bupati Boven Digul Yusak Yaluwo, SH, MSi (tahun 2006)
peninggalan-peninggalan semasa Pemerintahan Hindia Belanda itu, saat ini tak
terawat. Peninggalan-peninggalan itu tidak mendapat perhatian dari pemerintah
pusat maupun provinsi dan kabupaten sebelumnya. Padahal, konsep pendirian
bangsa ini sedikitnya pernah tercetus dari Boven Digul, yang merupakan
penyatuan ribuan nusa menuju Indo- nesia Raya.
Ketiadaan perhatian terhadap peninggalan sejarah itu menimbulkan kekhawatiran,
dalam waktu yang relatif singkat Bangsa Indonesia akan kehilangan sejumlah
bukti sejarah perjuangan kemerdekaan, yakni lenyapnya bangunan bersejarah di
Tanah Merah di sisi Sungai Digul. Abrasi sungai selebar 500 meter itu menjadi
ancaman serius. Makam para tawanan lainnya dikhawatirkan akan hilang lenyap,
tanpa pernah tersentuh perawatan. Padahal, sejarah mencatat, para tahanan di
daerah itu mempunyai kontribusi “memajukan” penduduk setempat, mulai dari
memperkenalkan cara bercocok tanam modern, perdagangan sederhana, hingga
membaca dan menulis kepada masyarakat sekitar.

Cournelis De Houtman: Pembuka Jalan Penjajahan Belanda Di Nusantara


CORNELIS de Houtman (lahir di Gouda, Belanda, 2 April 1565 – Tewas di Aceh, 1599), adalah seorang penjelajah Belanda yang menemukan jalur pelayaran dari Eropa ke Nusantara dan berhasil memulai perdagangan rempah-rempah bagi Belanda. Saat kedatangan de Houtman, Kerajaan Portugis telah lebih dahulu memonopoli jalur-jalur perdagangan di Nusantara. Meski ekspedisi de Houtman banyak memakan korban jiwa di pihaknya dan bisa dikatakan gagal, namun ekspedisi de Houtman yang pertama ini merupakan kemenangan simbolis bagi pihak Belanda karena sejak saat itu kapal-kapal lainnya mulai berlayar untuk berdagang ke Timur.

Awal perjalanan
Pada tahun 1592 Cornelis de Houtman dikirim oleh para saudagar Amsterdam ke Lisboa/Lisbon, Portugal untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin mengenai keberadaan “Kepulauan Rempah-Rempah”. Pada saat de Houtman kembali ke Amsterdam, penjelajah Belanda lainnya, Jan Huygen van Linschoten juga kembali dari India. Setelah mendapatkan informasi, para saudagar tersebut menyimpulkan bahwa Banten merupakan tempat yang paling tepat untuk membeli rempah-rempah. Pada 1594, mereka mendirikan perseroan Compagnie van Verre (yang berarti “Perusahaan jarak jauh”), dan pada 2 April 1595 berangkatlah ekspedisi perseroan ini di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Tercatat ada empat buah kapal yang ikut dalam ekspedisi mencari “Kepulauan Rempah-rempah” ini yaitu: Amsterdam, Hollandia, Mauritius dan Duyfken.
Ekspedisi de Houtman sudah direcoki banyak masalah sejak awal. Penyakit sariawan merebak hanya beberapa minggu setelah pelayaran dimulai akibat kurangnya makanan. Pertengkaran di antara para kapten kapal dan para pedagang menyebabkan beberapa orang terbunuh atau dipenjara di atas kapal. Di Madagaskar, di mana sebuah perhentian sesaat direncanakan, masalah lebih lanjut menyebabkan kematian lagi, dan kapal-kapalnya bertahan di sana selama enam bulan. (Teluk di Madagaskar tempat mereka berhenti kini dikenal sebagai “Kuburan Belanda”).
Tiba di Tanah Jawa
Pada 27 Juni 1596, ekspedisi de Houtman tiba di Banten. Hanya 249 orang yang tersisa dari pelayaran awal. Penerimaan penduduk awalnya bersahabat, tapi setelah beberapa perilaku kasar yang ditunjukkan awak kapal Belanda, Sultan Banten, bersama dengan orang-orang Portugis yang telah datang lebih dulu di Banten, mengusir rombongan “Wong Londo” ini.
Ekspedisi de Houtman berlanjut ke utara pantai Jawa. Namun kali ini, kapalnya takluk ke pembajak. Saat tiba di Madura perilaku buruk rombongan ini berujung ke salah pengertian dan kekerasan: seorang pangeran di Madura terbunuh sehingga beberapa awak kapal Belanda ditangkap dan ditahan sehingga de Houtman membayar denda untuk melepaskannya. Kapal-kapal tersebut lalu berlayar ke Bali, dan bertemu dengan raja Bali. Mereka akhirnya berhasil memperoleh beberapa pot merica pada 26 Februari 1597.
Saat dalam perjalanan pulang ke Belanda, mereka singgah di Kepulauan St. Helena, dekat Angola untuk mengisi persediaan air dan bahan-bahan lainnya. Kedatangan mereka ini dihadang oleh kapal-kapal Portugis yang merupakan pesaing mereka.
Akhirnya pada akhir 1597, tiga dari empat kapal ekspedisi ini kembali dengan selamat ke Belanda. Dari 249 awak, hanya 87 yang berhasil kembali.
Akibat dari ekspedisi de Houtman
Meski perjalanan ini bisa dibilang gagal, namun juga dapat dianggap sebagai kemenangan bagi Belanda. Pihak Belanda sejak saat itu mulai berani berlayar untuk berdagang ke Timur terutama di tanah Nusantara. Beberapa ekspedisi memang mengalami kegagalan, sementara lainnya sukses gilang-gemilang dengan keuntungan berlimpah-limpah dari total modal ekspedisi yang dikeluarkan.
Totalnya dalam rentang waktu antara 1598 dan 1601 ada 15 ekspedisi dikirim ke Nusantara, yang melibatkan 65 kapal. Sebelum Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) didirikan pada 1602, tercatat 12 perusahaan telah melakukan ekspedisi ke Nusantara dalam masa 7 tahun, yakni: Compagnie van Verre (Perusahaan dari Jauh), De Nieuwe Compagnie (Perusahaan Baru), De Oude Compagnie (Perusahaan Lama), De Nieuwe Brabantse Compagnie (Perusahaan Brabant Baru), De Verenigde Compagnie Amsterdam (Perhimpunan Perusahaan Amsterdam), De Magelaanse Compagnie (Perusahaan Magelan), De Rotterdamse Compagnie (Perusahaan Rotterdam), De Compagnie van De Moucheron (Perusahaan De Moucheron), De Delftse Vennootschap (Perseroan Delft), De Veerse Compagnie (Perusahaan De Veer), De Middelburgse Compagnie (Perusahaan Middelburg) dan De Verenigde Zeeuwse Compagnie (Perhimpunan Perusahaan Kota Zeeuw).
Tewas di Aceh
Tahun 1598, Cornelis de Houtman bersama saudaranya Frederick de Houtman diutus lagi ke tanah Nusantara di mana kali ini ekspedisinya merupakan ekspedisi dalam jumlah besar. Armada-armadanya telah dipersenjatai seperti kapal perang.
Pada 1599, dua buah kapal pimpinan de Houtman yang bernama de Leeuw dan de Leeuwin berlabuh di ibukota Kerajaan Aceh. Pada awalnya kedua kapal ini mendapat sambutan baik dari pihak Aceh karena darinya diharapkan akan dapat dibangun kerjasama perdagangan yang saling menguntungkan. Dengan kedatangan Belanda tersebut berarti Aceh akan dapat menjual hasil-hasil bumi, khususnya lada kepada Belanda.
Namun dalam perkembangannya, akibat adanya hasutan dari pihak Portugis yang telah lebih dahulu berdagang dengan Kerajaan Aceh, Sultan Aceh menjadi tidak senang dengan kehadiran Belanda dan memerintahkan untuk menyerang kapal-kapal mereka. Pemimpin penyerangan adalah Laksamana Keumala Hayati. Dalam penyerangan ini, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya tewas sementara Frederick de Houtman ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Frederick de Houtman mendekam dalam tahanan Kerajaan Aceh selama 2 tahun. Selama di penjara, ia menulis buku berupa kamus Melayu-Belanda yang merupakan kamus Melayu-Belanda pertama dan tertua di Nusantara.

Imam Pemberontak Dari Malangbong


darul islam. hampir lima puluh tahun setelah kematiannya, pemikiran dan cita-cita mendirikan negara islam masih bergelora di kalangan sebagian umat islam negeri ini.
DI Teluk Jakarta, sang “Imam” mengembuskan napas terakhir setelah tubuhnya diterjang peluru regu tembak. Toh, hampir lima puluh tahun setelah kematiannya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo masih terus mengilhami berbagai kelompok di negeri ini yang ingin menegakkan sebuah “Negara Islam”-baik dengan jalan damai maupun kekerasan.

Kendati dikenal sebagai pemimpin Islam, pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1907, itu sesungguhnya sosok yang tak terlalu “islami”. Ayahnya, Kartosoewirjo, adalah seorang mantri candu-pangkat yang cukup tinggi untuk seorang “inlander” di masa kolonial. Candu dan Islam jelas bukan pasangan yang padan.
Keluarga Kartosoewirjo memang tergolong priayi feodal, dan bukan pemeluk Islam yang taat. “Keluarga kami cenderung abangan,” kata salah seorang anggota keluarga di Cepu. Masa kecil Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pun tak karib dengan pendidikan agama. Dia terus-menerus menempuh pendidikan di sekolah Belanda.
Setelah menamatkan Inlandsche School der Tweede Klasse, yang dikenal sebagai “Sekolah Ongko Loro”, Karto kecil melanjutkan sekolah ke Hollands Inlandsche School di Rembang, Jawa Tengah. Setelah itu, dia meneruskan pendidikan ke Europeesche Lagere School, sekolah elite khusus untuk anak Belanda, di Bojonegoro, Jawa Timur.
Hanya anak pribumi cerdas dan berasal dari keluarga amtenar yang boleh masuk sekolah itu. Kemudian dia melanjutkan lagi pendidikan ke Nederlandsch Indische Artsen School-biasa disebut Sekolah Dokter Jawa-di Surabaya.
Di masa remaja, Kartosoewirjo yang mulai tertarik pada dunia pergerakan justru akrab dengan pemikiran kebangsaan-bahkan “kiri”. Dia diketahui banyak membaca buku sosialisme yang diperoleh dari pamannya, Mas Marco Kartodikromo.
Marco dikenal sebagai wartawan dan aktivis Sarekat Islam beraliran merah. Terpengaruh bacaan itu, Kartosoewirjo terjun ke politik dengan bergabung di Jong Java dan kemudian Jong Islamieten Bond.
Pengetahuan agama Islam praktis digalinya secara otodidak, lewat literatur berbahasa Belanda dan persentuhan dengan sejumlah kiai. Guru mengajinya yang pertama adalah Notodihardjo, aktivis Partai Sarekat Islam Indonesia sekaligus Muhammadiyah di Bojonegoro. Penampilan Notodihardjo tipikal Islam-Jawa: tutur katanya halus dan dia selalu mengenakan blangkon, beskap, dan selop.
Adapun gurunya di dunia pergerakan, sekaligus guru agamanya terbesar, tak pelak lagi adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto-tokoh yang disebut Belanda “Raja Jawa tanpa Mahkota”. Terpesona oleh pidato “singa podium” itu, Karto melamar menjadi murid dan mulai mondok di rumah Ketua Sarekat Islam itu di Surabaya.
Untuk membayar uang pondokan, Karto bekerja di surat kabar Fadjar Asia milik Tjokroaminoto. Ketekunan dan kecerdasan membawa Kartosoewirjo menjadi sekretaris pribadi mertua pertama Soekarno itu.
Patut dicatat, Tjokroaminoto juga dikenal sebagai guru bagi Semaoen yang beraliran komunis dan Soekarno yang beraliran nasionalis. Kesamaan tujuan untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan Belanda membuat mereka bersatu dan mengesampingkan perbedaan.
l l l
KETIKA tinggal di Malangbong, Garut, Kartosoewirjo kembali mempelajari Islam dari sejumlah ajengan, alias kiai lokal, seperti Ardiwisastra dari Malangbong, Kiai Mustafa Kamil dari Tasikmalaya, dan Kiai Yusuf Tauziri dari Wanareja. Ardiwisastra belakangan menjadi mertua dan sekutu dekatnya dalam perjuangan menegakkan Negara Islam.
Sebaliknya, Yusuf Tauziri menjadi lawan tangguh dalam arti sesungguhnya bagi Kartosoewirjo. Beberapa kali anak buah Yusuf yang menolak proklamasi Darul Islam terlibat baku tembak dengan pasukan Kartosoewirjo di medan tempur.
Dengan latar belakang Islam-Jawa seperti itu, bukan hal ajaib jika muncul cerita Kartosoewirjo pernah melakukan tapa geni tidak makan dan tidak minum selama 40 hari di Gua Walet, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dia meyakinkan pengikutnya bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh wahyu pertama di Gua Hira.
Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga, Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu sesuai dengan ramalan Joyoboyo, raja sekaligus pujangga Jawa yang menubuatkan akan munculnya seorang pemimpin umat manusia.
Konon ada pula kepercayaan mistis di kalangan masyarakat Jawa Barat bahwa Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil dan selalu menang perang jika bisa menyatukan dua senjata pusaka: keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua pusaka itu memang selalu dibawanya ketika bergerilya di hutan.
Menyimak profil Kartosoewirjo itu, tak aneh bila ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, menilai dia sesungguhnya tak memiliki landasan ideologi yang kuat untuk mendirikan Negara Islam. Bahtiar-dan beberapa ahli politik Islam lain-lebih merujuk pada kekecewaan Kartosoewirjo terhadap Perjanjian Renville, yang dianggapnya merugikan kepentingan umat Islam, untuk memberontak dari “pemerintahan kafir” Soekarno.
Toh, pemberontakan Kartosoewirjo di Jawa Barat bersama Daud Beureueh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan telah ikut mewarnai sejarah pembentukan Republik yang masih berusia muda. Puluhan tahun setelah ketiga tokoh itu wafat, semangat mendirikan Negara Islam terbukti tak kunjung padam di kalangan sebagian umat Islam. Kaderisasi di antara mereka pun sepertinya tak pernah terputus.
Pengusung cita-cita Negara Islam itu boleh saja terpecah-belah karena alasan ideologi atau kepentingan pribadi pemimpinnya. Ada yang memilih mengembangkan pendidikan, berjuang dengan program advokasi, ada pula yang tetap menghalalkan jalan kekerasan. Kelompok lain diyakini menjadi cikal bakal Jamaah Islamiah. Namun semuanya tetap mengaku penerus cita-cita Kartosoewirjo.
l l l
UNTUK mengumpulkan bahan penulisan edisi khusus Kartosoewirjo ini, kami mengundang beberapa ilmuwan, peneliti, dan saksi sejarah dalam beberapa sesi diskusi di kantor redaksi Tempo. Ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, dan Solahudin, seorang peneliti Darul Islam, memberikan banyak perspektif tentang tokoh karismatis ini. Mereka juga memberikan rujukan sejumlah literatur mengenai Kartosoewirjo dan gerakan Darul Islam, dari karya klasik sampai kontemporer.
Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, menceritakan pergulatan keluarganya yang dianggap sebagai gembong pemberontak. Memang, setelah ayahnya dieksekusi, giliran dua kakak kandungnya, Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki, tampil menjadi tokoh baru Darul Islam.
Riwayat Sardjono sendiri cukup unik. Dia lahir di hutan, di medan gerilya ayah dan ibunya. Usianya baru lima tahun ketika Kartosoewirjo tertangkap dan seluruh keluarganya memutuskan menyerah dan keluar dari hutan. Dengan ingatan kanak-kanak yang terbatas, dia membantu merekonstruksi apa yang terjadi di hutan, di saat-saat terakhir perlawanan sang Imam dan pengikutnya.
Kami juga mengundang Sofwan, bekas juru warta Ma’had Al-Zaytun, yang dikenal sebagai pesantren milik bekas pengikut Negara Islam Indonesia. Mantan tangan kanan Abdussalam Toto alias Panji Gumilang ini mengaku sudah keluar “secara baik-baik” dari Al-Zaytun. Diskusi yang berlangsung seru dan kadang diselingi gelak tawa itu selalu diawali makan siang atau makan malam ala Tempo.
Melengkapi tulisan, kami melakukan napak tilas ke sejumlah tempat bersejarah. Sardjono menemani dan menunjukkan lokasi-lokasi tempat Kartosoewirjo dan anak buahnya pernah bergerilya selama 13 tahun di hutan dan gunung sekitar Garut dan Tasikmalaya, Jawa Barat.
Bersama Sardjono pula kami pergi ke Pulau Onrust di Teluk Jakarta. Di sana ada sebuah makam yang diyakininya sebagai kubur ayahnya. Selama ini sejumlah literatur dan saksi sejarah hanya bercerita bahwa Kartosoewirjo dieksekusi dengan ditembak mati di sekitar Teluk Jakarta. Namun tak diketahui di mana jenazah sang Imam dikebumikan.